Oleh:
Fakhruddin Muchtar*
There was a young man who said, “God must think
it exceedingly odd if he finds that this tree continous to be
when there’s no one about in the quad.” REPLY
Dear Sir:
Your astonisment’s odd: I am always about in quad.
And that’s why the tree will continue to be, since observed by
Yours faithfully,
GOD [1]
Demikian tulisan Ronald Knox
menanggapi teori Berkley[2]
dengan diktumnya yang terkenal, Esse est percipi (ada itu: diamati)[3].
Pembuktian teori ini bisa didapati dalam kehidupan keseharian kita. Di kampus
misalnya – andai Anda coba memperhatikan kehidupan keseharian Anda – saat dapat
kenalan baru, setelah berkenalan ia akan sering tampak di sekitar Anda; sedang
pada hari-hari sebelumnya tidak demikian. Padahal sebenarnya sejak Anda belum
mengenalnya pun ia telah sering ada di sekitar Anda. Lalu apakah ini berarti
bahwa kitalah yang membuatnya menjadi ada? Ya, kurang lebih demikian maksud
Berkley. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa keberadaan suatu benda
ditentukan oleh ada tidaknya orang yang mempersepsikan atau melihatnya. Lalu
bagaimana halnya jika ada sebuah pohon di mana tidak seorang pun yang mempersepsinya?
Berkeley menjawab, “Masih ada Tuhan yang tidak pernah berhenti mempersepsi”.
Anda tidak perlu bersusah-susah
merenungkan pemikiran Berkley tadi, yang ingin kami sampaikan – dari cerita di
atas – hanyalah bahwa tidak sedikit pemikir yang memanfaatkan keberadaan Tuhan
sebagai amunisi terakhir mempertahankan teori mereka. Bukan saja agama,
filsafat sekalipun – yang sering dipandang sebagai perusak agama nomor satu –
juga membutuhkan Tuhan dalam konsep-konsepnya.
Dari pengantar di atas, setidaknya ada
dua pertanyaan yang perlu dijawab. 1] Betulkah filsafat adalah musuh agama?
Dan 2] yang jauh lebih mendasar, apakah Tuhan benar-benar ada? Mengapa
pertanyaan kedua jauh lebih penting, kami rasa Anda sendiri punya alasan
masing-masing. Yang jelas, bagi HMI sendiri arti penting keberadaan Tuhan
sangat dibutuhkan, selaku ‘kebenaran mutlak’[4]
yang mendasari NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Tidak berlebihan rasanya, jika
dikatakan bahwa arti penting Tuhan adalah sebagai “Dasar” dari “Nilai Dasar
Perjuangan”.
Sebuah Self-Contradictory
Mempelajari Nilai Dasar Perjuangan,
kami secara pribadi bingung ketika mendapati subbab pertama – tentang
Dasar-Dasar Kepercayaan – yang menyatakan bahwa:
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan adanya Tuhan dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya.[5]
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan adanya Tuhan dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya.[5]
Pendekatan ke arah pengetahuan akan
adanya Tuhan dengan cara-cara tersebut di atas bukan masalah, bahkan kami
justeru akan memperkenalkan beberapa argumen pembuktian Tuhan setelah ini. Akan
tetapi, terdapat self-contradictory (pertentangan pada diri-sendiri)
pada penggalan paragraf tersebut. Bukan mengenai sifat manusia yang ‘mutlak’
tetapi juga sekaligus ‘nisbi’, melainkan pada adanya pernyataan tentang
niscayanya keberadaan Tuhan. Padahal pada kalimat lain dikatakan, “Tetapi
karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri
kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya.”
Persoalan ada-tidaknya Tuhan adalah
salah satu persoalan ‘hakiki ketuhanan dan kebertuhanan’. Terbukti, bahwa
sampai saat ini dalil-dalil yang membuktikan keberadaan Tuhan, sama kuatnya
dengan berbagai argumen penentangnya. Tidak satu pun di antara keduanya yang
bisa diklaim sebagai ‘kebenaran mutlak’. So, jika kita menerima pernyataan
bahwa manusia dengan kenisbiannya tidak bisa mencapai pengertian hakiki Tuhan,
lalu bagaimana mungkin kita dengan tenang-tenang saja menerima statement,
“Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan”.
Ketika mendapati tulisan ini,
kemungkinan besar Anda telah memeroleh gambaran umum tentang nilai-nilai dasar
perjuangan yang – bagaimana pun juga – Tuhan berada pada posisi sentral wacana
tersebut. Pembahasan NDP biasanya dimulai dengan ajakan ‘meragukan Tuhan’, lalu
sedikit demi sedikit Anda akan dikembalikan kepada-Nya. Untuk kedua kalinya
kami meminta Anda kembali kepada ‘keraguan’ itu sebelum melanjutkan bacaan ini!
Sebab jika tidak, sudah dapat dipastikan sejarah tulisan ini akan berakhir di
tong sampah Anda masing-masing. Jadi semua solusi dilematika ketuhanan di NDP
tadi, harap Anda abaikan sementara sebab ada saja kemungkinan bahwa “Nggak
semua yang loe dengar itu bener!”[6]
Bentuk-Bentuk Kebertuhanan
Kembali pada persoalan self-contradictory
tadi, letak kontradiksinya adalah bahwa dalam penggalan paragraf tersebut
tampak usaha penggabungan sistem kebertuhanan yang sungguh berbeda. Kalimat,
“…karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau
sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya,” adalah kalimat yang berbau
agnostik. Agnostik adalah buatan T.H. Huxley untuk menggambarkan
setiap pernyataan yang kejelasannya tidak mencukupi untuk dipercayai.[7]
Dengan kata lain, agnostisime adalah pengingkaran secara umum terhadap
segala metafisika[8]
sebagai sumber pengetahuan nyata, dan secara khusus dari kemungkinan mengetahui
Allah[9].
Sedang kalimat yang secara tegas menyatakan Tuhan sebagai mutlak ada, adalah
kalimat yang bisa dikeluarkan oleh paham kebertuhanan mana saja selain ateis
sebagai sistem keberagamaan yang meyakini bahwa Tuhan, atau dewa/dewi tidak
ada.[10]
Louis O. Kattsoff secara umum
memetakan sistem kepercayaan ke dalam tiga bentuk: 1] ateisme (tidak
mengakui adanya Tuhan), 2] monoteisme (mengakui adanya satu Tuhan), dan
3] politeisme (percaya akan adanya Tuhan yang banyak).[11]
Agnostisisme sendiri tidak dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
kelompok di atas. Sebab bagaimana pun ketiganya berbeda, mereka sama-sama
meyakini bahwa keberadaan Tuhan dapat diketahui. Yang membedakan mereka
hanyalah pada keputusan mereka akan pengetahuan Tuhan; ada yang mengatakan
“ada”, ada yang bilang “ada. Banya…k lagi!”, dan yang menyatakan “tidak ada!”.
Kesemuanya merasa mampu mengetahui ada tidaknya sosok tersebut; terbukti pada
kesimpulan masing-masing.
Selain agnotisme yang tidak
dapat dimasukkan pada pengelompokan di atas, sebenarnya masih ada bentuk
kebertuhanan agama lain yang belum terpetakan, yakni Henoteisme. Bentuk
keberagamaan ini dikenal dalam tradisi Hindu. Seringkali orang menyamakan
bentuk kepercayaan agama Hindu dengan politeisme, mengingat mereka
mustahil berpaham monoteisme sebab mengakui banyak dewa. Padahal dalam
agama Hindu – meski penganutnya mengakui banyak dewa/dewi – mereka hanya
menyembah dewa/dewi tertentu, dengan tetap tidak mengingkari keberadaan
dewa-dewa lain. Bentuk keberagamaan terakhir inilah yang – bukan monoteisme maupun
politeisme – disebut sebagai henoteisme.[12]
Selanjutnya Kattsoff menambahkan
bahwa dalam keyakinan-keyakinan yang tidak ragu akan adanya Tuhan – yakni monoteisme
dan politiesime – terdapat tiga bentuk pandangan, antara lain: 1] teisme
yang mengakui bahwa Tuhan atau dewa/dewi mempunyai pengaruh – atau
mencampuri urusan – dunia, 2] deisme yang meyakini bahwa Tuhan atau
dewa/dewi tidak mempunyai hubungan langsung – atau tidak ikut campur – dengan
dunia, dan 3] panteisme yang memandang Tuhan adalah dunia dalam
keseluruhannya dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.[13]
Oleh beberapa pemikir, konsep
terakhir – yakni panteisme – seringkali disalahpahami dengan
dicampuradukkan pada panenteisme. Tampaknya Kattsoff sendiri terjebak di
dalamnya dengan menyamaratakan kedua konsep tersebut. Panenteisme adalah
pandangan bahwa seluruh realitas merupakan bagian keberadaan Allah; berbeda
dengan panteisme yang menyamakan Allah dengan seluruh realitas.[14]
Adanya Ciptaan Bukti Hadirnya Pencipta!?
Terlepas dari bentuk kebertuhanan
mana yang Anda anut, adalah yang sangat penting untuk memperkenalkan beberapa
argumen umum yang ditawarkan oleh mereka yang ingin membuktikan adanya Tuhan.
Perlu dicatat – sebagai jawaban dari pertanyaan “Betulkah filsafat adalah musuh
01 agama?” – bahwa sekalipun banyak serangan anti-Tuhan dari para filsuf,
tetapi tidak sedikit di antara mereka yang juga gigih mempertahankan ada-Nya.
Sebelum ke arah sana, tidak ada
salahnya membahas sedikit argumen yang umum kita – barangkali termasuk Anda –
gunakan.[15]
Yakni, bahwa bukti keberadaan Tuhan adalah dengan adanya alam ini. “Adanya
ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” adalah
kalimat yang sering terlontar saat seseorang bertanya akan dasar keyakinan kita
secara aqli; bukan naqli. Tapi betulkah statement ini
cukup meyakinkan?
Sebenarnya jawaban seperti di atas
sama sekali tidak membuktikan apa pun tentang keberadaan Tuhan pada kita. Dalam
epistimologi, pernyataan tadi bisa dikelompokkan ke dalam ‘putusan analitis’,
yakni predikat sudah dengan sendirinya melekat pada diri subjek.[16]
Sebagai contoh: “Kasihan! Duda itu tidak punya istri”. Model kalimat seperti
itu tidak mungkin salah, karena hanya berkutat pada permainan bahasa tautologis,
yakni menyatakan kembali ide yang sama tetapi dengan kata yang berbeda.[17]
Selama kita tahu yang namanya “Duda”, kita pasti senyam-senyum sendiri
mendengar kalimat terakhir tadi. Sebab yang namanya “Duda” otomatis “tidak
punya istri”.
Sekalipun niscaya benar, kalimat
tadi sama sekali tidak memberikan informasi faktual pada kita, makanya ia tidak
berguna sebagai pembuktian. Demikian pula halnya argumen “Adanya ciptaan
membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” sama sekali
tidak membuktikan apa-apa. Kalimat ini juga adalah bentuk tautologis dan
tidak menunjukkan bukti bahwa alam semesta ini adalah ciptaan. Untuk mengetahui
lebih lanjut kelemahannya kita bisa gunakan kalimat lain, contoh “Raksasa
bermata satu ialah raksasa yang mempunyai satu mata”[18].
Raksasa bermata satu adalah raksasa yang punya satu mata tidak mungkin salah,
hanya orang goblok yang tidak percaya bahwa kalimat ini benar. Akan tetapi, apakah
kebenaran pernyataan tersebut membuktikan adanya seekor raksasa yang memiliki
satu mata? Perasaan nggak kayak gitu deh!
Demikian pula halnya argumen
yangkita bahas sekarang. Statement “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya
si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” sekalipun diakui niscaya benar,
tidak secara nisya membuktikan adanya si Pencipta atau Tuhan. Kalaupun beberapa
orang menerima argumen ini, mereka pastilah orang-orang yang memang telah
menganggap ‘alam’ ini sebagai ‘ciptaan’. Lalu bagaimana dengan mereka yang
tidak mengakui alam sebagai ciptaan? Ya nggak terima lah! Asal tau saja,
biasanya mereka yang bertanya bukti keberadaan Tuhan, adalah mereka yang tidak
– atau setidaknyameragukan – memandang alam ini sebagai ciptaan. Kalaupun ada
orang yang sekalipun telah mengakui alam sebagai ciptaan, tetapi juga tetap
bertanya bukti adanya Tuhan, yakin saja orang itu adalah seorang yang ‘lemah
berpikir’[19]
yang lagi buang-buang umur.
Argumen-argumen Keberadaan Tuhan
Sebelum memasuki argumen filosofis ketuhanan, sebaiknya Anda bersiap untuk
memasuki alam imajinasi, sebab di sini dibutuhkan “khayalan tingkat tinggi”[20].
Dalam tradisi filsafat sendiri, dikenal berbagai macam argumen pembuktian
Tuhan. Beberapa yang paling umum antara lain:
Pembuktian Ontologis (ontos = ada),
yakni pembuktian yang berusaha membuktikan Tuhan berdasarkan atas defenisi
tentang Tuhan.[21]
Salah seorang filsuf yang pemikirannya dikelompokkan di sini adalah Rene
Descartes, yang tidak lain adalah bapak filsafat modern. Ia mendefenisikan,
bahwa esensi (hakikat) Allah ada pada eksistensi (keberadaan)-nya[22].
Hubungan esensi dengan eksistensi pada Tuhan ini, Descartes analogikan dengan
hubungan antara esensi sebuah segitiga dengan keberadaannya. Esensi sebuah
segitiga – ia menjelaskan – yakni dia merupakan ‘sebuah bidang datar yang
memiliki tiga segi garis lurus’. Anda tidak akan mungkin bisa memikirkan sebuah
segitiga tanpa memikirkan esensinya tadi. Begitu pula Allah, memikirkan Tuhan
berarti memikirkan esensinya. Karena esensi Allah adalah eksistensi atau
keberadaan, maka memikir Allah adalah juga berarti memikirkan dia sebagai
‘Yang-Ada’.
Pembuktian Kosmologis (cosmos = alam
semesta) ditujukan pada bentuk pembuktian di mana selalu menekankan adanya
sosok (Allah) yang wujudnya berbeda dari alam semesta, dan berperan sebagai
penggerak alam. Salah satu bentuk di dalamnya adalah argumen “Penyebab
Pertama”. Umum diketahui bahwa setiap ‘akibat’ pasti ada ‘sebab’-nya. ‘Sebab’
dari ‘akibat’ ini pun tadinya adalah ‘akibat’ dari ‘sebab-sebab’ sebelumnya;
begitu seterusnya. Sifat mundur terus-menerus ini dikenal dengan istilah
regresus ad infitum (kemunduran yang tak terbatas). Oleh mereka yang menganut
paham ini, regresus ad infinitum ini dipandang sebagai hal yang mustahil.
Karenanya pasti ada ‘penyebab pertama’ yang tidak disebabkan oleh siapa pun.
Dan Ia tidak lain adalah Tuhan.[23]
Pembuktian Teleologis (telos = tujuan) atau biasa
dikenal dengan istilah ‘Argumen Rekayasa’[24]
mengedepankan keteraturan alam sebagai bukti adanya Sang Pengatur. Jika suatu
saat Anda menemukan sebuah jam tergolek di atas pasir di sebuah pantai, Anda
tidak mungkin berpikir bahwa ia begitu saja tercipta dari batu karang secara
kebetulan. Sebaliknya Anda pasti berpikir bahwa jam tersebut dibuat oleh tukang
jam.[25]
Demikian pula alam semesta yang begitu rumit ini tidak mungkin terjadi secara
kebetulan, melainkan memiliki telos yang telah ditetapkan oleh
penciptanya sehingga ia teratur.
Sayangnya, kesemua argumen di atas
dikritik oleh Immanuel Kant. Pertama, ‘argumen ontologis’ ia tolak
dengan kritikan yang persis sama dengan kritikan yang tadi kita gunakan menolak
pernyataan “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain
adalah Tuhan,”[26]
yakni bahwa kalimat tersebut tidak membuktikan apa-apa selain kebenaran kalimat
itu sendiri.[27]
Argumen Descartes tentang esensi Allah hanya akan diterima oleh mereka yang
memang telah mengakui adanya Allah. Kedua, penolakan pada ‘argumen
kosmologis’ adalah karena ia tidak lain adalah bentuk kosmos dari argumen
ontologis. Dan yang terakhir, ‘argumen teleologis’ juga harus ditolak adalah
karena pada dasarnya ia adalah salah bentuk dari ‘argumen kosmologis’ yang
telah kita tolak tadi.[28]
Pembuktian Etis (etis = Anda taulah!!!) adalah
nama argumen yang menjadi tawaran Immanuel Kant sendiri. Tuhan dan kekekalan
Immanuel Kant bicarakan dalam konteks ‘kebaikan yang tertinggi’. Keadaan ideal
adalah keadaan di mana kebajikan dan kebahagiaan berdampingan. Akan tetapi,
sangat disayangkan karena keduanya tidak bersamaan adanya di dunia ini. Oleh
karena itu, dibutuhkan sosok yang menjaga harmoni keselarasan antara
kebaikan-kebahagiaan ini, dan ia adalah Tuhan.[29]
Memahami konsep terakhir ini, kita
bisa berangkat dari peribahasa, “Air susu dibalas tuba”. Artinya bahwa
terkadang kebaikan kita pada orang lain ia balas dengan kejahatan. Itu sebabnya
Immanuel Kant mengatakan bahwa kebaikan dan kebahagiaan keberadaannya tidak
bersamaan – dalam artian niscaya – di dunia ini. Karena itu, jiwa manusia haruslah
bersifat kekal abadi, di mana ia nanti akan mendapatkan kebahagiaan atas
perbuatannya tersebut. Untuk menjamin hal ini, mau tidak mau kita harus
mengakui adanya Tuhan sebagai penjaga harmoni kebaikan dan kebahagiaan.
Namun bukan berarti ‘argumen etis’
Immanuel Kant adalah pembuktian yang sempurna dari cacat. Ia juga menuai
kritikan dari pemikir-pemikir lainnya. Dalam A.C. Ewing misalnya, dikatakan
bahwa ketika menjadikan ‘etika’ sebagai prinsip dasar pembuktian Tuhan, kata
‘etika’ tadi tentu mengasumsikan jenis pandangan (aliran) etika tertentu. Ewing
menambahakan bahwa jika proposisi etis sebagai pernyataan tentang emosi dan
reaksi mental yang dimiliki manusai pada kondisi tertentu, maka bagaimana
mungkin ia dijadikan basis yang valid untuk membuktikan Tuhan?[30]
Beberapa Pertimbangan Terakhir
Setelah kesemua pembahsan di atas,
kami sendiri tidak bisa mengklaim mana argumen paling benar. Sampai saat ini
pencaharian kami pun terus berlanjut. Namun demikian, bukan berarti kami
menerlantarkan begitu saja ‘kepercayaan kebertuhanan’ yang Anda titipkan kepada
kami, untuk ditukarkan dengan bertumpuk-tumpuk ‘keraguan’ yang memang banyak
kami miliki.
Sebelum memutuskan bentuk
‘kebertuhanan’ yang Anda pilih, setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui
dalam masalah ini. Pertama, ada yang membedakan antara ‘Tuhan’ dan ‘Ide
tentang Tuhan’.[31]
Manusia ketika berwacana tentang Tuhan, sesungguhnya sedang membahas ‘Ide
tentang Tuhan’. Ada yang menggambarkan Dia sebagai personal, sedang yang lain
memandangnya sebagai nonpersonal.[32]
Kedua, manusia telah menyembah Tuhan
sebelum munculnya doktrin dan problema-problema filsafat tentang Tuhan. Ketika
manusia menemukan kelompok-kelompok lain yang mempunyai ide berbeda tentang
Tuhan, orang pun kembali mempertanyakan mana yang paling benar. Pilihan tentu
saja hanya berkisar pada 1] mempertahankan ide lama, 2] mengubahnya ke ide
baru, atau 3] meninggalkannya sama sekali.[33]
Ketiga, adalah tidak ada pandangan
individual tentang Tuhan yang dianggap final atau memadai. Pengetahuan kita
berkembang dengan tidak sempurna[34],
sehingga apa pun dasar yang kita gunakan pasti sangat terbuka dari serangan
orang lain. Lagipula, manusia sendiri memang sangat sukar untuk menjelaskan
keyakinannya yang mendalam dengan cara memuaskan. Tidak terkecuali kami
pribadi, tentunya.
Akan tetapi, sebagai pertimbangan
terakhir adalah apa yang digunakan Soren Aaby Kierkegaard tentang objektivitas.
Apabila Tuhan bisa dibuktikan secara objektif – baik secara rasional atau
bentuk lain – lalu apa gunanya iman!? Bukankah iman justru tidak dibutuhkan
kalau sesuatu bisa dipercayai hanya dengan melihatnya sepintas lalu? Iman
justru adalah bentuk kepercayaan tanpa pembuktian objektif. Inilah yang oleh
Kierkegaard disebut sebagai leap of faith (lompatan iman).
Sebagai penutup, pesan kami
khususnya tentang Tuhan dan kebertuhanan. Sebelum Anda memutuskan untuk “Yakin
Usaha Sampai”, belajarlah untuk berpikir dan ber-Usaha Sampai
‘Yakin.Usaha Sampai” – keyakinan itu sendiri butuh diusahakan kan?!”#@%
Pagi tadi ibu pertiwi tersenyum mesra
dan sempat ucapkan dua kata yang tanpa sengaja
tertangkap olehku,
“CARPE DIEM”[35]
*NDPers HMI
Cabang Ciputat
Referensi
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Brown, Colin, Filsafat dan Iman
Kristen, terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno,
(Jakarta: LRRI,
1999)
Ewing, A.C., Persoalan-Persoalan
Mendasar Filsafat, terj. Uzair Fauzan dan Rikka Iffati
Farikha,
(Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2003)
Fearn, Nicholas, Cara Mudah
Berfilsafat, terj. Yudi Santosa, (Jogjakarta: Bentang,
2003)
Gaarder, Jostein , Dunia Sophie:
Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan,
2002)
Hadiwiono, Harun, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Hakim, Masykur, Pergolakan
Reformasi dan Strategi HMI, (Jakarata: al-Ghazaly, 2001)
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992)
HMI Cabang Ciputat, “Nilai Dasar
Perjuangan (NDP)”, Modul LK 1, (Jakarta:
HMI, 2004)
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk
Mengenal Filsafat ,
terj. Soejono Soemargono, (Jakarta:
Tiara Wacana, 1996)
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993)
Russel,
Bertrand, A History of Western Philosophy, (New York: Simon & Schuster,
1972)
Siswanto, Joko, Sisitem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai
Derrida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Sudarminta, J., Epistimologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002)
Sou’eyb, Joesoef, Agama-Agama
Besar di Dunia, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1996)
Titus, Harold H., et. al., Persoalan-Persoalan
Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
Weber, Max, The Religion of China,
trans. Hans. H. Gerth, (New York: Free Press,
1968)
bahwa
sungguh aneh jika Dia mendapati pohon ini terus ada
sementara
tidak ada seorang pun yang berada di sana.”
JAWABAN
Tuan yang
Terhormat:
Justru keterkejutan
anda itulah yang aneh: Saya selalu hadir di sana.
Dan itu
sebabnya mengapa pohon ini selalu ada, semenjak diamati
Hormat kami,
TUHAN
Lelucon
Surat Tuhan ini, lihat Bertrand Russel, A History of Western Philosophy, (New
York: Simon & Schuster, 1972), h. 648
[2] Berkley
(1685-1753) adalah filosof yang meneruskan pemikiran empiristis John Locke ke
arah idealistis, karenanya pamikirannya lebih dikenal sebagai Idealisme. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
h. 50
[8] Metafisika berasal
dari kata Yunani; “ta me ta physika” yang berarti “sesudah atau setelah
(di balik) realitas fisik”, lihat Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika
Barat dari Aristoteles sampai Derrida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
h. 175
[11] Louis O. Kattsoff,
Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat , terj.
Soejono Soemargono, (Jakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 446
[16] J. Sudarminta, Epistimologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 103
[24] A.C. Ewing, Persoalan-Persoalan
Mendasar Filsafat, terj. Uzair Fauzan dan Rikka Iffati Farikha,
(Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2003), h. 372
[27] Colin Brown, Filsafat
dan Iman Kristen, terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno, (Jakarta: LRRI,
1999), h. 133
[31] Harold H. Titus,
et. al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 442
[32] Dalam
Confucianisme misalnya, seorang tokoh, Hsun-tze menyatakan, “God is the
expression of the heart of the people” [“Tuhan adalah expresi hati orang-orang”],
lihat Max Weber, The Religion of China, trans. Hans. H. Gerth, (New
York: Free Press, 1968), h. 166
[35] “Rebut hari ini”.
Ungkapan Latin ini populer pada abad ke-17; lihat Jostein Gaarder, Dunia
Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan,
2002), h. 249. Tampaknya istilah ini yang paling pas mendampingi semangat
“Yakin Usaha Sampai” yang dimiliki putra-putri terbaik HMI..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar