Selasa, 21 Januari 2014

Tuhan Sebagai 'Dasar' dari 'Nilai Dasar Perjuangan'


Oleh: Fakhruddin Muchtar*

There was a young man who said, “God must think
it exceedingly odd if he finds that this tree continous to be
when there’s no one about in the quad.”                  
REPLY
Dear Sir:

Your astonisment’s odd: I am always about in quad.
And that’s why the tree will continue to be, since observed by


                              
Yours faithfully,
                                              
GOD [1]

Demikian tulisan Ronald Knox menanggapi teori Berkley[2] dengan diktumnya yang terkenal, Esse est percipi (ada itu: diamati)[3]. Pembuktian teori ini bisa didapati dalam kehidupan keseharian kita. Di kampus misalnya – andai Anda coba memperhatikan kehidupan keseharian Anda – saat dapat kenalan baru, setelah berkenalan ia akan sering tampak di sekitar Anda; sedang pada hari-hari sebelumnya tidak demikian. Padahal sebenarnya sejak Anda belum mengenalnya pun ia telah sering ada di sekitar Anda. Lalu apakah ini berarti bahwa kitalah yang membuatnya menjadi ada? Ya, kurang lebih demikian maksud Berkley. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa keberadaan suatu benda ditentukan oleh ada tidaknya orang yang mempersepsikan atau melihatnya. Lalu bagaimana halnya jika ada sebuah pohon di mana tidak seorang pun yang mempersepsinya? Berkeley menjawab, “Masih ada Tuhan yang tidak pernah berhenti mempersepsi”.
Anda tidak perlu bersusah-susah merenungkan pemikiran Berkley tadi, yang ingin kami sampaikan – dari cerita di atas – hanyalah bahwa tidak sedikit pemikir yang memanfaatkan keberadaan Tuhan sebagai amunisi terakhir mempertahankan teori mereka. Bukan saja agama, filsafat sekalipun – yang sering dipandang sebagai perusak agama nomor satu – juga membutuhkan Tuhan dalam konsep-konsepnya.
Dari pengantar di atas, setidaknya ada dua pertanyaan yang perlu dijawab. 1] Betulkah filsafat adalah musuh agama? Dan 2] yang jauh lebih mendasar, apakah Tuhan benar-benar ada? Mengapa pertanyaan kedua jauh lebih penting, kami rasa Anda sendiri punya alasan masing-masing. Yang jelas, bagi HMI sendiri arti penting keberadaan Tuhan sangat dibutuhkan, selaku ‘kebenaran mutlak’[4] yang mendasari NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Tidak berlebihan rasanya, jika dikatakan bahwa arti penting Tuhan adalah sebagai “Dasar” dari “Nilai Dasar Perjuangan”. 
Sebuah Self-Contradictory
Mempelajari Nilai Dasar Perjuangan, kami secara pribadi bingung ketika mendapati subbab pertama – tentang Dasar-Dasar Kepercayaan – yang menyatakan bahwa:

Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan adanya Tuhan dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya.[5]

Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dengan cara-cara tersebut di atas bukan masalah, bahkan kami justeru akan memperkenalkan beberapa argumen pembuktian Tuhan setelah ini. Akan tetapi, terdapat self-contradictory (pertentangan pada diri-sendiri) pada penggalan paragraf tersebut. Bukan mengenai sifat manusia yang ‘mutlak’ tetapi juga sekaligus ‘nisbi’, melainkan pada adanya pernyataan tentang niscayanya keberadaan Tuhan. Padahal pada kalimat lain dikatakan, “Tetapi karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya.”
Persoalan ada-tidaknya Tuhan adalah salah satu persoalan ‘hakiki ketuhanan dan kebertuhanan’. Terbukti, bahwa sampai saat ini dalil-dalil yang membuktikan keberadaan Tuhan, sama kuatnya dengan berbagai argumen penentangnya. Tidak satu pun di antara keduanya yang bisa diklaim sebagai ‘kebenaran mutlak’. So, jika kita menerima pernyataan bahwa manusia dengan kenisbiannya tidak bisa mencapai pengertian hakiki Tuhan, lalu bagaimana mungkin kita dengan tenang-tenang saja menerima statement, “Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan”.
Ketika mendapati tulisan ini, kemungkinan besar Anda telah memeroleh gambaran umum tentang nilai-nilai dasar perjuangan yang – bagaimana pun juga – Tuhan berada pada posisi sentral wacana tersebut. Pembahasan NDP biasanya dimulai dengan ajakan ‘meragukan Tuhan’, lalu sedikit demi sedikit Anda akan dikembalikan kepada-Nya. Untuk kedua kalinya kami meminta Anda kembali kepada ‘keraguan’ itu sebelum melanjutkan bacaan ini! Sebab jika tidak, sudah dapat dipastikan sejarah tulisan ini akan berakhir di tong sampah Anda masing-masing. Jadi semua solusi dilematika ketuhanan di NDP tadi, harap Anda abaikan sementara sebab ada saja kemungkinan bahwa “Nggak semua yang loe dengar itu bener!”[6]

Bentuk-Bentuk Kebertuhanan
      Kembali pada persoalan self-contradictory tadi, letak kontradiksinya adalah bahwa dalam penggalan paragraf tersebut tampak usaha penggabungan sistem kebertuhanan yang sungguh berbeda. Kalimat, “…karena kemutlakan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian hakekat Tuhan sebenarnya,” adalah kalimat yang berbau agnostik. Agnostik adalah buatan T.H. Huxley untuk menggambarkan setiap pernyataan yang kejelasannya tidak mencukupi untuk dipercayai.[7] Dengan kata lain, agnostisime adalah pengingkaran secara umum terhadap segala metafisika[8] sebagai sumber pengetahuan nyata, dan secara khusus dari kemungkinan mengetahui Allah[9]. Sedang kalimat yang secara tegas menyatakan Tuhan sebagai mutlak ada, adalah kalimat yang bisa dikeluarkan oleh paham kebertuhanan mana saja selain ateis sebagai sistem keberagamaan yang meyakini bahwa Tuhan, atau dewa/dewi tidak ada.[10]
Louis O. Kattsoff secara umum memetakan sistem kepercayaan ke dalam tiga bentuk: 1] ateisme (tidak mengakui adanya Tuhan), 2] monoteisme (mengakui adanya satu Tuhan), dan 3] politeisme (percaya akan adanya Tuhan yang banyak).[11] Agnostisisme  sendiri tidak dapat dikelompokkan ke dalam salah satu kelompok di atas. Sebab bagaimana pun ketiganya berbeda, mereka sama-sama meyakini bahwa keberadaan Tuhan dapat diketahui. Yang membedakan mereka hanyalah pada keputusan mereka akan pengetahuan Tuhan; ada yang mengatakan “ada”, ada yang bilang “ada. Banya…k lagi!”, dan yang menyatakan “tidak ada!”. Kesemuanya merasa mampu mengetahui ada tidaknya sosok tersebut; terbukti pada kesimpulan masing-masing.
Selain agnotisme yang tidak dapat dimasukkan pada pengelompokan di atas, sebenarnya masih ada bentuk kebertuhanan agama lain yang belum terpetakan, yakni Henoteisme. Bentuk keberagamaan ini dikenal dalam tradisi Hindu. Seringkali orang menyamakan bentuk kepercayaan agama Hindu dengan politeisme, mengingat mereka mustahil berpaham monoteisme sebab mengakui banyak dewa. Padahal dalam agama Hindu – meski penganutnya mengakui banyak dewa/dewi – mereka hanya menyembah dewa/dewi tertentu, dengan tetap tidak mengingkari keberadaan dewa-dewa lain. Bentuk keberagamaan terakhir inilah yang – bukan monoteisme maupun politeisme  – disebut sebagai henoteisme.[12]
Selanjutnya Kattsoff menambahkan bahwa dalam keyakinan-keyakinan yang tidak ragu akan adanya Tuhan – yakni monoteisme dan politiesime – terdapat tiga bentuk pandangan, antara lain: 1] teisme yang mengakui bahwa Tuhan atau dewa/dewi mempunyai pengaruh – atau mencampuri urusan – dunia, 2] deisme yang meyakini bahwa Tuhan atau dewa/dewi tidak mempunyai hubungan langsung – atau tidak ikut campur – dengan dunia, dan 3] panteisme yang memandang Tuhan adalah dunia dalam keseluruhannya dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.[13]
Oleh beberapa pemikir, konsep terakhir – yakni panteisme – seringkali disalahpahami dengan dicampuradukkan pada panenteisme. Tampaknya Kattsoff sendiri terjebak di dalamnya dengan menyamaratakan kedua konsep tersebut. Panenteisme adalah pandangan bahwa seluruh realitas merupakan bagian keberadaan Allah; berbeda dengan panteisme yang menyamakan Allah dengan seluruh realitas.[14]

Adanya Ciptaan Bukti Hadirnya Pencipta!?
Terlepas dari bentuk kebertuhanan mana yang Anda anut, adalah yang sangat penting untuk memperkenalkan beberapa argumen umum yang ditawarkan oleh mereka yang ingin membuktikan adanya Tuhan. Perlu dicatat – sebagai jawaban dari pertanyaan “Betulkah filsafat adalah musuh 01 agama?” – bahwa sekalipun banyak serangan anti-Tuhan dari para filsuf, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang juga gigih mempertahankan ada-Nya.
Sebelum ke arah sana, tidak ada salahnya membahas sedikit argumen yang umum kita – barangkali termasuk Anda – gunakan.[15] Yakni, bahwa bukti keberadaan Tuhan adalah dengan adanya alam ini. “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” adalah kalimat yang sering terlontar saat seseorang bertanya akan dasar keyakinan kita secara aqli; bukan naqli. Tapi betulkah statement ini cukup meyakinkan?
Sebenarnya jawaban seperti di atas sama sekali tidak membuktikan apa pun tentang keberadaan Tuhan pada kita. Dalam epistimologi, pernyataan tadi bisa dikelompokkan ke dalam ‘putusan analitis’, yakni predikat sudah dengan sendirinya melekat pada diri subjek.[16] Sebagai contoh: “Kasihan! Duda itu tidak punya istri”. Model kalimat seperti itu tidak mungkin salah, karena hanya berkutat pada permainan bahasa tautologis, yakni menyatakan kembali ide yang sama tetapi dengan kata yang berbeda.[17] Selama kita tahu yang namanya “Duda”, kita pasti senyam-senyum sendiri mendengar kalimat terakhir tadi. Sebab yang namanya “Duda” otomatis “tidak punya istri”.
Sekalipun niscaya benar, kalimat tadi sama sekali tidak memberikan informasi faktual pada kita, makanya ia tidak berguna sebagai pembuktian. Demikian pula halnya argumen “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” sama sekali tidak membuktikan apa-apa. Kalimat ini juga adalah bentuk tautologis dan tidak menunjukkan bukti bahwa alam semesta ini adalah ciptaan. Untuk mengetahui lebih lanjut kelemahannya kita bisa gunakan kalimat lain, contoh “Raksasa bermata satu ialah raksasa yang mempunyai satu mata”[18]. Raksasa bermata satu adalah raksasa yang punya satu mata tidak mungkin salah, hanya orang goblok yang tidak percaya bahwa kalimat ini benar. Akan tetapi, apakah kebenaran pernyataan tersebut membuktikan adanya seekor raksasa yang memiliki satu mata? Perasaan nggak kayak gitu deh!
Demikian pula halnya argumen yangkita bahas sekarang. Statement “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,” sekalipun diakui niscaya benar, tidak secara nisya membuktikan adanya si Pencipta atau Tuhan. Kalaupun beberapa orang menerima argumen ini, mereka pastilah orang-orang yang memang telah menganggap ‘alam’ ini sebagai ‘ciptaan’. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mengakui alam sebagai ciptaan? Ya nggak terima lah! Asal tau saja, biasanya mereka yang bertanya bukti keberadaan Tuhan, adalah mereka yang tidak – atau setidaknyameragukan – memandang alam ini sebagai ciptaan. Kalaupun ada orang yang sekalipun telah mengakui alam sebagai ciptaan, tetapi juga tetap bertanya bukti adanya Tuhan, yakin saja orang itu adalah seorang yang ‘lemah berpikir’[19] yang lagi buang-buang umur.

Argumen-argumen Keberadaan Tuhan
       Sebelum memasuki argumen filosofis ketuhanan, sebaiknya Anda bersiap untuk memasuki alam imajinasi, sebab di sini dibutuhkan “khayalan tingkat tinggi”[20]. Dalam tradisi filsafat sendiri, dikenal berbagai macam argumen pembuktian Tuhan. Beberapa yang paling umum antara lain:
       Pembuktian Ontologis (ontos = ada), yakni pembuktian yang berusaha membuktikan Tuhan berdasarkan atas defenisi tentang Tuhan.[21] Salah seorang filsuf yang pemikirannya dikelompokkan di sini adalah Rene Descartes, yang tidak lain adalah bapak filsafat modern. Ia mendefenisikan, bahwa esensi (hakikat) Allah ada pada eksistensi (keberadaan)-nya[22]. Hubungan esensi dengan eksistensi pada Tuhan ini, Descartes analogikan dengan hubungan antara esensi sebuah segitiga dengan keberadaannya. Esensi sebuah segitiga – ia menjelaskan – yakni dia merupakan ‘sebuah bidang datar yang memiliki tiga segi garis lurus’. Anda tidak akan mungkin bisa memikirkan sebuah segitiga tanpa memikirkan esensinya tadi. Begitu pula Allah, memikirkan Tuhan berarti memikirkan esensinya. Karena esensi Allah adalah eksistensi atau keberadaan, maka memikir Allah adalah juga berarti memikirkan dia sebagai ‘Yang-Ada’.
Pembuktian Kosmologis (cosmos = alam semesta) ditujukan pada bentuk pembuktian di mana selalu menekankan adanya sosok (Allah) yang wujudnya berbeda dari alam semesta, dan berperan sebagai penggerak alam. Salah satu bentuk di dalamnya adalah argumen “Penyebab Pertama”. Umum diketahui bahwa setiap ‘akibat’ pasti ada ‘sebab’-nya. ‘Sebab’ dari ‘akibat’ ini pun tadinya adalah ‘akibat’ dari ‘sebab-sebab’ sebelumnya; begitu seterusnya. Sifat mundur terus-menerus ini dikenal dengan istilah regresus ad infitum (kemunduran yang tak terbatas). Oleh mereka yang menganut paham ini, regresus ad infinitum ini dipandang sebagai hal yang mustahil. Karenanya pasti ada ‘penyebab pertama’ yang tidak disebabkan oleh siapa pun. Dan Ia tidak lain adalah Tuhan.[23]
Pembuktian Teleologis (telos = tujuan) atau biasa dikenal dengan istilah ‘Argumen Rekayasa’[24] mengedepankan keteraturan alam sebagai bukti adanya Sang Pengatur. Jika suatu saat Anda menemukan sebuah jam tergolek di atas pasir di sebuah pantai, Anda tidak mungkin berpikir bahwa ia begitu saja tercipta dari batu karang secara kebetulan. Sebaliknya Anda pasti berpikir bahwa jam tersebut dibuat oleh tukang jam.[25] Demikian pula alam semesta yang begitu rumit ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan memiliki telos yang telah ditetapkan oleh penciptanya sehingga ia teratur.
Sayangnya, kesemua argumen di atas dikritik oleh Immanuel Kant. Pertama, ‘argumen ontologis’ ia tolak dengan kritikan yang persis sama dengan kritikan yang tadi kita gunakan menolak pernyataan “Adanya ciptaan membuktikan hadirnya si Pencipta yang tidak lain adalah Tuhan,”[26] yakni bahwa kalimat tersebut tidak membuktikan apa-apa selain kebenaran kalimat itu sendiri.[27] Argumen Descartes tentang esensi Allah hanya akan diterima oleh mereka yang memang telah mengakui adanya Allah. Kedua, penolakan pada ‘argumen kosmologis’ adalah karena ia tidak lain adalah bentuk kosmos dari argumen ontologis. Dan yang terakhir, ‘argumen teleologis’ juga harus ditolak adalah karena pada dasarnya ia adalah salah bentuk dari ‘argumen kosmologis’ yang telah kita tolak tadi.[28]
Pembuktian Etis (etis = Anda taulah!!!) adalah nama argumen yang menjadi tawaran Immanuel Kant sendiri. Tuhan dan kekekalan Immanuel Kant bicarakan dalam konteks ‘kebaikan yang tertinggi’. Keadaan ideal adalah keadaan di mana kebajikan dan kebahagiaan berdampingan. Akan tetapi, sangat disayangkan karena keduanya tidak bersamaan adanya di dunia ini. Oleh karena itu, dibutuhkan sosok yang menjaga harmoni keselarasan antara kebaikan-kebahagiaan ini, dan ia adalah Tuhan.[29]
Memahami konsep terakhir ini, kita bisa berangkat dari peribahasa, “Air susu dibalas tuba”. Artinya bahwa terkadang kebaikan kita pada orang lain ia balas dengan kejahatan. Itu sebabnya Immanuel Kant mengatakan bahwa kebaikan dan kebahagiaan keberadaannya tidak bersamaan – dalam artian niscaya – di dunia ini. Karena itu, jiwa manusia haruslah bersifat kekal abadi, di mana ia nanti akan mendapatkan kebahagiaan atas perbuatannya tersebut. Untuk menjamin hal ini, mau tidak mau kita harus mengakui adanya Tuhan sebagai penjaga harmoni kebaikan dan kebahagiaan.
Namun bukan berarti ‘argumen etis’ Immanuel Kant adalah pembuktian yang sempurna dari cacat. Ia juga menuai kritikan dari pemikir-pemikir lainnya. Dalam A.C. Ewing misalnya, dikatakan bahwa ketika menjadikan ‘etika’ sebagai prinsip dasar pembuktian Tuhan, kata ‘etika’ tadi tentu mengasumsikan jenis pandangan (aliran) etika tertentu. Ewing menambahakan bahwa jika proposisi etis sebagai pernyataan tentang emosi dan reaksi mental yang dimiliki manusai pada kondisi tertentu, maka bagaimana mungkin ia dijadikan basis yang valid untuk membuktikan Tuhan?[30]
 
Beberapa Pertimbangan Terakhir
Setelah kesemua pembahsan di atas, kami sendiri tidak bisa mengklaim mana argumen paling benar. Sampai saat ini pencaharian kami pun terus berlanjut. Namun demikian, bukan berarti kami menerlantarkan begitu saja ‘kepercayaan kebertuhanan’ yang Anda titipkan kepada kami, untuk ditukarkan dengan bertumpuk-tumpuk ‘keraguan’ yang memang banyak kami miliki.
Sebelum memutuskan bentuk ‘kebertuhanan’ yang Anda pilih, setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui dalam masalah ini. Pertama, ada yang membedakan antara ‘Tuhan’ dan ‘Ide tentang Tuhan’.[31] Manusia ketika berwacana tentang Tuhan, sesungguhnya sedang membahas ‘Ide tentang Tuhan’. Ada yang menggambarkan Dia sebagai personal, sedang yang lain memandangnya sebagai nonpersonal.[32]
Kedua, manusia telah menyembah Tuhan sebelum munculnya doktrin dan problema-problema filsafat tentang Tuhan. Ketika manusia menemukan kelompok-kelompok lain yang mempunyai ide berbeda tentang Tuhan, orang pun kembali mempertanyakan mana yang paling benar. Pilihan tentu saja hanya berkisar pada 1] mempertahankan ide lama, 2] mengubahnya ke ide baru, atau 3] meninggalkannya sama sekali.[33]
Ketiga, adalah tidak ada pandangan individual tentang Tuhan yang dianggap final atau memadai. Pengetahuan kita berkembang dengan tidak sempurna[34], sehingga apa pun dasar yang kita gunakan pasti sangat terbuka dari serangan orang lain. Lagipula, manusia sendiri memang sangat sukar untuk menjelaskan keyakinannya yang mendalam dengan cara memuaskan. Tidak terkecuali kami pribadi, tentunya.
Akan tetapi, sebagai pertimbangan terakhir adalah apa yang digunakan Soren Aaby Kierkegaard tentang objektivitas. Apabila Tuhan bisa dibuktikan secara objektif – baik secara rasional atau bentuk lain – lalu apa gunanya iman!? Bukankah iman justru tidak dibutuhkan kalau sesuatu bisa dipercayai hanya dengan melihatnya sepintas lalu? Iman justru adalah bentuk kepercayaan tanpa pembuktian objektif. Inilah yang oleh Kierkegaard disebut sebagai leap of faith (lompatan iman).
Sebagai penutup, pesan kami khususnya tentang Tuhan dan kebertuhanan. Sebelum Anda memutuskan untuk “Yakin Usaha Sampai”, belajarlah untuk berpikir dan ber-Usaha Sampai ‘Yakin.Usaha Sampai” – keyakinan itu sendiri butuh diusahakan kan?!”#@%

Pagi tadi ibu pertiwi tersenyum mesra
dan sempat ucapkan dua kata yang tanpa sengaja
tertangkap olehku,
“CARPE DIEM”[35]


*NDPers HMI Cabang Ciputat



Referensi
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Brown, Colin, Filsafat dan Iman Kristen, terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno,
(Jakarta: LRRI, 1999)
Ewing, A.C., Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat, terj. Uzair Fauzan dan Rikka Iffati
Farikha, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2003)
Fearn, Nicholas, Cara Mudah Berfilsafat, terj. Yudi Santosa, (Jogjakarta: Bentang,
2003)
Gaarder, Jostein , Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan, 2002)
Hadiwiono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Hakim, Masykur, Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI, (Jakarata: al-Ghazaly, 2001)
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992)
HMI Cabang Ciputat, “Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”, Modul LK 1, (Jakarta:
HMI, 2004)
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat ,
terj. Soejono Soemargono, (Jakarta: Tiara Wacana, 1996)
Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
Russel, Bertrand, A History of Western Philosophy, (New York: Simon & Schuster,
1972)
Siswanto, Joko, Sisitem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Sudarminta, J., Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002)
Sou’eyb, Joesoef, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1996)
Titus, Harold H., et. al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
Weber, Max, The Religion of China, trans. Hans. H. Gerth, (New York: Free Press,
1968)



[1] Ada seorang pemuda yang berkata, “Tuhan pasti berpikir
bahwa sungguh aneh jika Dia mendapati pohon ini terus ada
sementara tidak ada seorang pun yang berada di sana.”

JAWABAN
Tuan yang Terhormat:
Justru keterkejutan anda  itulah yang aneh: Saya selalu hadir di sana.
Dan itu sebabnya mengapa pohon ini selalu ada, semenjak diamati

Hormat kami,
                                               
TUHAN

Lelucon Surat Tuhan ini, lihat Bertrand Russel, A History of Western Philosophy, (New York: Simon & Schuster, 1972), h. 648
[2] Berkley (1685-1753) adalah filosof yang meneruskan pemikiran empiristis John Locke ke arah idealistis, karenanya pamikirannya lebih dikenal sebagai Idealisme. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 50
[3] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 21
[4] Masykur Hakim, Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI, (Jakarata: al-Ghazaly, 2001), h. 22
[5] HMI Cabang Ciputat, “Nilai Dasar Perjuangan (NDP)”, Modul LK 1, (Jakarta: HMI, 2004), h. 31
[6] Yang sering merhatiin iklan pasti nggak asing ama kalimat ini!
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 22
[8] Metafisika berasal dari kata Yunani; “ta me ta physika” yang berarti “sesudah atau setelah (di balik) realitas fisik”, lihat Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 175
[9] Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 293
[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 94
[11] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat , terj. Soejono Soemargono, (Jakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 446
[12] Joesoef Sou’eyb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1996), h. 52
[13] Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 446
[14] Bagus, Kamus Filsafat, h. 770
[15] …atau jangan-jangan kamu ngga pernah mikir ya!?#@%
[16] J. Sudarminta, Epistimologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 103
[17] Bagus, Kamus Filsafat, h. 1079
[18] “Ya iyalah, goblok!” Dalam hati, loe ngomong kayak gitu ye..!?
[19] …yah nggak enak aja kalau kita jujur bilang ‘idiot’
[20] Hehe..kena loe! Pikirin tu judul lagu Peter Pan!
[21] Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 454
[22] Bagus, Kamus Filsafat, h. 76
[23] Ibid., h. 75
[24] A.C. Ewing, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat, terj. Uzair Fauzan dan Rikka Iffati Farikha, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2003), h. 372
[25] Nicholas Fearn, Cara Mudah Berfilsafat, terj. Yudi Santosa, (Jogjakarta: Bentang, 2003), h. 49
[26] Kok bisa sama kayak gitu yah! Orang emang gue ambil dari die.
[27] Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen, terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno, (Jakarta: LRRI, 1999), h. 133
[28] Ibid., h. 135
[29] Ibid., h. 142
[30] Ewing, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat, h. 385
[31] Harold H. Titus, et. al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 442
[32] Dalam Confucianisme misalnya, seorang tokoh, Hsun-tze menyatakan, “God is the expression of the heart of the people” [“Tuhan adalah expresi hati orang-orang”], lihat Max Weber, The Religion of China, trans. Hans. H. Gerth, (New York: Free Press, 1968), h. 166
[33] Titus, et. al., Persoalan-Persoalan Filsafat, h. 442
[34] Ibid.
[35] “Rebut hari ini”. Ungkapan Latin ini populer pada abad ke-17; lihat Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 2002), h. 249. Tampaknya istilah ini yang paling pas mendampingi semangat “Yakin Usaha Sampai” yang dimiliki putra-putri terbaik HMI..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar