Senin, 03 Februari 2014

Mengabdi Republik, Memberdayakan Umat; Apresiasi Atas Pemikiran Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI


Oleh : Prof. Dr. Azyumardi Azra
(Cendekiawan Muslim)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"


 Gagasan dan usaha untuk memunculkan sebuah organisasi mahasiswa Islam untuk menampung aspirasi mahasiswa Islam akan kebutuhan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan keagamaan yang aktual, sesungguhnya telah mulai muncul sejak akhir November 1946.[i] Tetapi, secara organisatoris baru menjadi kenyataan dengan didirikannya HMI pada 14 Rabi’ul Awal 1364 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 M.
kelahiran HMI yang hanya berselang dua tahun dari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, cukup menggambarkan bahwa atmosfir saat itu sangat diwarnai semangat revolusioner. Kemerdekaan sejati baru berhasil direbut kembali ketika Belanda memberi pengakuan kedaulatan kepada bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949. Karena itu, HMI berada di tengah-tengah zaman di mana energi dan psikologi umat Islam dan bangsa banyak tersita guna mempertahankan proklamasi kemerdekaan dan mengusir kolonial yang berusaha menjajah rakyat Indonesia kembali.
Semangat revolusioner umat Islam sendiri tergalang secara massif sejak K.H Mohammad Hasyim Asy’ari dari NU dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo dari PII (Partai Islam Indonesia) mempersatukan revolusi umat Islam Indonesia di bawah bendera partai politik Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dan partai-partai Islam lain, maupun organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah, Persis, PUI, dan seterusnya. Melalui kongres Umat Islam Indonesia I di Yogyakarta, 7 November 1945. Dalam partai umat Islam itu, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Ketua Umum Majelis  Syura (Dewan Partai) partai, sementara Soekiman duduk sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Masyumi. Adalah logis jika suasana romantik yang penuh solidaritas revolusioner itu kemudian mendorong banyak pemimpin Islam untuk bersatu dan bertekad menetapkan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.[ii]
Mobilisasi besar-besaran potensi revolusi umat Islam meningkat luar biasa melalui Masyumi. Dan emosi zaman pada saat HMI lahir masih belum terlepas benar dari semangat solidaritas penuh romantisme tersebut. Dalam suasana seperti itu dapat dikatakan, bahwa Lafran Pane beserta keempat belas temannya sesama mahasiswa tingkat 1 Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang mendirikan HMI sebenarnya hanya merupakan bagian kecil saja dari keseluruhan dinamika umat dan bangsa yang luas dan besar itu. Mudah dipahami jika gagasan Lafran dan kawan-kawan dalam mendirikan HMI pada saat itu bagi sebagian orang bukanlah sesuatu yang mengesankan.
Yang terjadi justru sebaliknya; beberapa organisasi mahasiswa memandang sangat serius, untuk tidak mengatakan curiga, atas kehadiran HMI. Reaksi pertama muncul reaksi dari Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang berdiri pada 1946; kecurigaannya dipicu oleh faktor ideologis, karena PMY berhaluan komunis. HMI juga mendapat reaksi dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII), organisasi sayap kepemudaan Masyumi yang berdiri di Jakarta 2 oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947. Seperti PMY, keduanya menuduh HMI pemecah belah kekuatan mahasiswa dan pemuda. Dalam suasana revolusioner seperti itu, bagi mereka yang penting adalah persatuan seluruh elemen kekuatan revolusi. Atas dasar itu mereka memandang tidak lagi perlu mendirikan organisasi mahasiswa secara khusus seperti HMI.[iii] Reaksi-reaksi itu berjalan sembilan bulan lamanya dan baru berakhir pada akhir November 1947.[iv]
Di tengah adanya resistensi terhadap HMI, menjadi sedikit sekali pilihan yang ada di hadapan Lafran dan kawan-kawan. Apalagi umat Islam Indonesia waktu itu berada di bawah ketokohan Hasyim Asya’ari dan Soekiman Wirdjosandjojo, yang membawa kebesaran panji-panji Masyumi. Satu-satunya pilihan ialah menempatkan HMI sebagai anak umat.[v] Sadar benar bahwa HMI lahir dalam kancah perang dan revolusi, para organisasi ini meletakkan semangat dan tujuan yang jelas bagi HMI, seperti tercantum dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI, yaitu: (1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[vi] Kedua tujuan tersebut mempertegas fakta sejarah bahwa HMI lahir sebagai anak kandung zaman revolusi, dan pada saat yang sama juga mencerminkan anak kandung umat Islam yang sensitif atas gelagat sejarah kurang berpihak pada Islam dan Muslimin.
Dari latar belakang berdirinya HMI, yang sering diungkap Sejarwan HMI Agussalim Sitompul, ternyata dapat diketahui organissasi ini sealu menempatkan diri sebagai anak umat dan bangsa sekaligus. Kesan itu dengan jelas sekali terlihat dari latar sejarah berdirinya HMI berikut ini: (1) PMY, sebagai satu-satunya organisasi kemahasiswaan waktu itu lebih berorientasi sekuler, menjadi sayap partai sosialis, dan bahkan berhaluan komunis, sehingga jauh dari semangat keislaman; (2) terjadinya krisis keseimbangan di kalangan mahasiswa akibat dari suasana Perguruan Tinggi yang tidak mengintegrasikan disiplin ilmu umum dengan agama; (3) situasi umat Islam yang terpecah belah dalam berbagai aliran  keagamaan dan politik di tengah kemiskinan dan kebodohan; dan (4) suasana bangsa Indonesia yang tengah mengalami masa revolusi  untuk mempertahankan kemerdekaan.[vii] Tetapi bagaimanapun, HMI sedikit lebih memprioritaskan diri sebagai anak umat dari pada anak bangsa; ini memang ketika HMI menggelar Kongres 1 HMI di Yogyakarta 30 November 1947 yang antara lain memutuskan, bahwa rumusan tujuan HMI mengalami perubahan, sehingga berbunyi: (1) mempertegak dan mengembangkan ajaran agama Islam; dan (2) mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia.[viii]
Posisi sebagai anak umat dipertegas oleh Lafran dan kawan-kawan dengan meninggalkan sekat-sekat parokialisme dan sektarianisme yang saat itu menyelimuti umat Islam umumnya. Dengan demikian, sama dengan Masyumi, HMI ingin memiliki basis dan sumber dukungan pada umat Islam secara keseluruhan. Cak Nur, panggilan ta’dzim kepada Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menduga bahwa dalam diri Lafran dan kawan-kawan, yang kemudian ditularkan kepada HMI, terdapat kearifan (wisdom) yang tersembunyi, yaitu kesadaran keagamaan-kebangsaan yang inklusifistik. Pandangan ini jauh lebih luas dan melampaui primordialisme keagamaan konservatif.[ix] Karena tumbuh dari kalangan keluarga terpelajar, menurut Cak Nur, Lafran telah terbiasa dengan wawasan keagamaan-keindonesiaan modern dengan pandangan sosial-politik-religius yang serba meliputi. Lebih lanjut, kosmopolitanisme pandangan Lafran tidak hanya karena ia adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakaan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan[x]– tetapi juga karena merupakan “buah” dari pergulatan hidup Lafran kecil, remaja, hingga menginjak dewasa yang tidak “normal”. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa proses pencarian identitas HMI sebenarnya dimulai dan bersamaan waktunya dengan proses pencarian jati diri Lafran sendiri. Sebab, sebagaimana diakui Sudjoko Prasodjo, “sesungguhnya tahun-tahun permulaan riwayat HMI hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang memegang andil terbanyak pada masa-masa lahirnya HMI, untuk tidak menyebutnya sebagai pendiri utamanya.”[xi]
Lafran kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin,” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari independensinya. Independensi Lafran tidak terletak pada netralitas keilmuannya, tidak pula pada pandangan keagamaannya, tetapi pada sikap kritis dan etisnya dalam memandang dan mencari kebenaran. Sebagai seorang figur pencari sejati, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak ia lalui dengan “normal” dan “lurus” itu; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang ia jalani dengan menjual karcis bioskop, main kartu, menjual es lilin,dll.[xii] Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui, struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan dia untuk terus secara kritis mencari tanpa kenal lelah, di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja.
Dapat dipahami jika, dengan sendirinya wawasan Lafran sangat mewarnai struktur fundamental wawasan HMI. Dalam konteks ini, independensi HMI adalah institusionalisasi sikap, pandangan hidup, dan karakter pribadi Lafran. Karena itu tidak aneh jika sejak semula HMI menunjukan sikap independensi tinggi, yang menolak dikooptasi sebagai bawahan (anderbouw) kelompok politik mana saja, bahkan Masyumi sekalipun.[xiii] Independensi HMI adalah sebuah pemberontakan terhadap arus pandangan keagamaan dan politik umat Islam yang primordial, parokial, dan sektarianis pada waktu itu. Karakter independensi seperti ini hampir sama persis dengan sejarah hidup Lafran yang penuh pemberontakan terhadap pola-pola pencarian kehidupan yang “lazim” dan “biasa” pada perempat awal hidupnya.
Setelah berhasil ditransformasikan ke dalam institusi organisasi, watak dan karakter independensi mewujud dalam level organisatoris dan level etis. Independensi organisatoris, sekali lagi, akan mencegah organisasi mahasiswa  ini berafiliasi, apalagi menjadi onderbauw, organisasi sosial dan atau kekuatan politik manapun, sementara independensi etis akan menuntun HMI untuk tetap setia mencari dan memperjuangkan kebenaran. Sejak awal berdirinya, independensi berhasil menjadi sumber energi moral dan intelektual bagi HMI dalam menjalankan misi organisasi.
Ketika konfigurasi kekuatan-kekuatan politik nasional mulai berubah pada akhir 1950-an, HMI masih mengusung independensi yang sama. Sikap itu juga yang ditunjukkan HMI ketika menghadapi berbagai masalah nasional saat itu. Begitu juga ketika Pemilu 1955 menghasilkan komposisi perolehan suara yang mengejutkan, yang meskipun dua partai Islam terbesar (Masyumi dan NU) termasuk empat besar, namun di luar dugaan banyak orang jika PNI –partai priyayi berbasis abangan-kejawaan ---sebagai pemenangnya. Pada saat inilah mitos kaum Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mulai dipertanyakan secara politik.[xiv] Apalagi kemudian PKI, setelah pemberontakan 18 September 1948 yang gagal namun tidak dibubarkan pemerintah, melakukan konsolidasi dan melakukan penyegaran kepemimpinan sejak awal 1950-an, juga masuk dalam konfigurasi empat besar itu.[xv] Sebagaimana diketahui bersama, kebijakan demokrasi liberal di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959, memberi kesempatan kepada PKI mengadakan konsolidasi dan rehabilitasi. Alimin mengaktifkan kembali PKI pada 4 Februari 1950 dan pertengahan 1950 pucuk pimpinan PKI dipegang DN Aidit. Seterusnya pada Januari 1951 CC PKI memilih Politbiro baru yang terdiri dari D.N Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman dan Alimin. Politbiro baru inilah yang kemudian berhasil membangun kembali PKI.[xvi]
Realitas politik baru “hasil” demokrasi liberal ini menimbulkan implikasi besar secara nasional, termasuk krisis yang dialami HMI pada awal dan pertengahan 1960-an. Krisis ini adalah implikasi yang ditimbulkan kekecewaan kolektif baik para-komando militer maupun  banyak pemimpin politik luar Jawa. Kekecewaan ini berakar dari berbagai masalah yang tak terselesaikan di awal kemerdekaan yang menandai ketegangan hubungan pusat dan daerah-daerah luar Jawa. Pada mulanya, para pemimpin luar jawa mengharapkan terjadinya penyelesaian tuntas berdasarkan komposisi perolehan suara pada Pemilu 1955. Namun, akhirnya para pemimpin ini merasa tidak mempunyai wakil yang memadai bagi penyaluran aspirasi mereka, ketika fakta menunjukkan tiga kelompok dari “ empat besar” pemenang Pemilu itu adalah partai-partai berbasis Jawa (PNI, NU dan PKI ). Sementara Masyumi, pemenang kedua pada Pemilu 1955, yang dianggap mewakili luar jawa tidak cukup kuat membawa aspirasi mereka, karena hanya salah satu kekuatan saja dalam “kepungan” Java-based-parties di atas. Kondisi inilah yang menimbulkan gerakan-gerakan pembangkangan para-komando militer di daerah-daerah yang berlanjut dengan munculnya gerakan PRRI di padang 15 februari 1958 dan Permesta di Manado 1957.[xvii]
Hasil Pemilu 1955 membangkitkan kenangan Soekarno akan gagasan-gagasannya di waktu muda (1927) tentang keharusan bersatunya kekuatan-kekuatan nasionalis utama di Indonesia melawan penjajahan, yaitu Nasionalisme, Islam dan Marxisme (Nasimar). Begitu PKI muncul dalam empat besar dalam Pemilu 1955, maka soekarno tidak bisa mengabaikan fakta bahwa PKI memperoleh dukungan sekitar enam juta pemilih.[xviii] Konsisten dengan pandangan politiknya di masa muda, melalui konsepsi presiden pada 21 Februari 1957, Soekarno mendesak supaya PKI dimasukkan ke dalam Kabinet. Sejalan dengan semangat demokrasi terpimpin, masyarakat Indonesia lebih mengutamakan semangat gotong-royong dalan suasana kekeluargaan. Dengan semangat gotong-royong dalam semangat kekeluargaaan ini, Soekarno kemudian merangkul dan melembagakan empat aliran partai politik pemenang Pemilu 1955 pada konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis) 1961.[xix]
Akomodasi dan pengakuan Soekarno terhadap PKI seakan memberi angin kepada partai ini untuk melakukan inisiatif politik. Dominasi peran PKI pada konstalasi politik Nasional antara lain karena pemberontakan PRRI-Permesta. PKI memperoleh keuntungan besar dari krisis kewilayahan, sebab ketegangan pusat-daerah ini sesungguhnya adalah gerakan-gerakan yang berbau hasta, PSI dan Masyumi, dan karena itu, terkesan sangat anti-komunis. Gejalak disintegrasi national yang dimotori gerakan kedaerahan PRRI-Permesta ini sekaligus menempatkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik yang paling loyal terhadap Jakarta dan Soekarno. Ini adalah titik kulminasi dari usaha PKI ketika sejak Pemilu 1955 yang secara intensif berusaha mendekati Soekarno dengan mendukung sepenuhnya seluruh gagasannya.[xx] Feith menulis bahwa ketika konsepsi presiden diumumkan di Istana Negara pada 2 Februari 1957, PKI mengerahkan puluhan ribu massa berbendera palu arit berdemonstrasi di luar pagar istana untuk mendukung gagasan Soekarno. Dukungan total PKI terhadap seluruh kebijakan Soekarno semakin membuka peluang bagi PKI untuk mencengkramkan kuku pengaruhnya di istana; dan dalam konteks seperti itu, PNI yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1955 “tergeser” pengaruh politiknya sehingga menjadi kekuatan politik kedua dari kalangan yang paling dekat dengan istana, setelah PKI.[xxi]
Ketika PKI berada di atas angin inilah HMI menghadapi krisis. Sejak sangat awal, PKI memiliki kecenderungan menghancurkan semua kekuatan yang dianggap menghalangi laju ekspansi kekuasaannya. Krisis yang dialami HMI sejak 1947-1948 terjadi antara lain karena sebagian besar energi dan perhatian HMI –bersama Angkatan Darat—dicurahkan untuk menghadapi revolusi fisik dan pemberontakan PKI di Madiun. Apa yang dilakukan HMI dengan membentuk Corps Mahasiswa di bawah komando  Achmad Tirtosudiro itu baru dirasakan pada 1950-1951. Pada masa ini, secara internal, konsolidasi dan gerak organisasi HMI seperti berjalan di tempat, untuk tidak menyebutnya vakum. Kesibukan HMI untuk menangani persoalan kebangsaan telah membuat konsolidasi internal organisasi ini baru bisa berakhir pada 1963.
Krisis selanjutnya terjadi ketika HMI harus berhadapan dengan mahasiswa komunis di Perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan dengan berdirinya CGMI pada 1957. Krisis ini menghebat setelah PKI berhasil menyingkirkan pengaruh Hatta, membubarkan Masyumi dan PSI pada 1960, dan mendeskreditkan tokoh dan atau kekuatan non-komunis, misalnya di bidang kebudayaan dan sastra. Sejarah akhirnya mencatat, bahwa ketika gencar-gencarnya Presiden Soekarno mewacanakan persatuan Nasakom, pada 30 September 1965 PKI kembali melakukan pemberontakan bersenjata untuk merebut kekuasaan.[xxii] Ketegangan sengit ideologis-politis ini berakhir sejak dibubarkan dan dilarangnya PKI, bersama CGMI, pada 12 maret 1966.[xxiii]
Dengan demikian, dapat dipahami, pemikiran keIslaman-keindonesiaan HMI, belum terumuskan secara komprehensif hingga 1965-an. Namun, periode ini juga adalah “masa menanam”  yang buahnya baru dituai pada 1970-an. Pada era ini muncul pemikir dan aktivis muda Islam briliyan seperti Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin, Ekky Syahruddin, Djohan Effendy, M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, Imaduddin Abdurrahim, Adi Sasono, dan seterusnya. Meminjam istilah Bahtiar Effendy, kemunculan “intelektualisme Islam baru”[xxiv] ini, hemat saya, sama sekali di luar dugaan para founding fathers HMI sendiri, seperti Lafran Pane, Achmad Tirtosudiro, dan Dahlan Ranuwihardjo. Juga tak terbayangkan oleh ke-14 mahasiswa STI yang bersama-sama Lafran menggagas berdirinya HMI, seperti Karnoto Zarkasyi (menetap di Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah I(istri Dahlan Husein-Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah K.H.A. Dahlan-Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Ghozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (mantan Pengurus NU Jatim-Malang), Bidron Hadi (ahli falak PP Muhammadiyah, Kauman-Yogyakarta), Zulkarnaen (Bengkulu) dan Mansyur.[xxv]
Sesungguhnya mantan pimpinan HMI 1950-an dan Angkatan 66 adalah generasi pertama HMI yang berpartisipasi dalam pemerintahan di bawah patronase “kelompok teknokrat” Widjojo Nitisastro dan Sumitro Djojohadikusumo, meski dalam kenyatannya mereka hanya menempati lapisan kedua setelah kelompok teknokrat tersebut. Di antara mereka yang masuk pada posisi kedua dalam lingkaran teknokrat tersebut ialah Deliar Noer, Bintoro Tjokroamadjojo, Barli Halim, Madjid Ibrahim, Zainul Zasmi, Omar Tusin, Bustanil Arifin, dan banyak lagi. Hanya saja, menurut M. Dawan Rahardjo, mereka masuk ke birokrasi dan secara tegas mendukung modernisasi, tidak melalui diskusi yang sifatnya intelektual, tetapi berpartisipasi langsung pada kegiatan pembangunan.[xxvi]
Sementara itu, generasi aktivis dan pemikir muslim baru yang lebih muda, berusaha masuk ke lingkaran kekuasaan dengan alternatif berbeda, meskipun sama-sama mendukung modernisasi. Generasi baru pemikir dan aktivis Islam ini sejak 1970-an berusaha mengembangkan format baru politik Islam di mana substantsi, bukan bentuk, merupakan titik-tekan utamanya. Paham keIslaman dan keindonesiaan –dua unsur penting yang memberikan legitimasi kultural dan struktural terhadap pembentukan “Negara kesatuan Nasional” Indonesia– disintesakan dan diintegrasikan secara harmonis. Tema dan agenda yang menarik perhatian mereka adalah (1) peninjauan kembali landasan teologis atau filosofis politik Islam; (2) pendefinisian kembali cita-cita politik Islam; dan (3) penilaian kembali tentang cara-cara bagaimana cita-cita politik tersebut dapat dicapai secara secara efektif. Adapun prinsip-prinsip pokok idealism dan aktivisme mereka dapat dipetakan ke dalam tiga wilayah penting: (1) pembaharuan teologis atau keagamaan; (2) reformasi politik atau birokrai; dan (3) transformasi sosial.[xxvii]
Ketiga bidang pembaharuan yang diusung generasi intelektualisme baru ini terintegrasikan dalam suatu upaya bersama untuk mengembangkan gagasan dan praktik politik Islam baru. Yakni, membangun rekonsilisasi politik antara Islam dan Negara.[xxviii] Terlepas dari faktor dukungan politik ABRI terhadap Soeharto mulai melemah pada 1990-an, yang pasti, upaya yang telah dirintis generasi intelektualisme baru ini mulai membuahkan hasil. Pada era ini mulai tumbuh sikap akomodatif negara terhadap Islam dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Akomodasi dimaksud meliputi empat hal: (1) akomodasi struktural; (2) akomodasi legislatif; (3) akomodasi infrastruktural; dan (4) akomodasi kultural.[xxix]
Berdirinya HMI menandai bangkitnya kembali kesadaran intelektual Muslim Indonesia yang sebelumnya sudah didahului dengan berdirinya DI, SI, MIAI, JIB, Masyumi, dan lain-lain. Sungguhpun berdirinya HMI sempat menimbulkan friksi dengan GPII –sayap kepemudaan Masyumi– dan PII, namun Cak Nur mengakui bahwa kedekatan HMI dengan Masyumi memang tak terhindarkan, meskipun bukan dalam pengertian struktural organisatoris, tetapi dalam hubungan misi, aspirasi dan visi pemikiran organisasi yang lebih mendasar. Kedekatan itu karena Masyumi, yang dipimpin para politisi Nasionalis Islam berpendidikan Barat modern, tampil dalam kinerja sosial politik dan keagamaan yang maju dan konstruktif pada zamannya. Mereka mengusung dan mendesakkan tema-tema yang membuka akal dan kesadaran, seperti demokrasi, keterbukaan, persamaan dan keadilan sosial serta menolak gagasan sektarianisme keagamaan yang sempit.[xxx] Sebagai organisasi kemahasiswaan, pada level gagasan semacam itulah jejak-jejak arkeologis dan geneologis pemikiran HMI dibangun. Bahkan, gagasan “modernisasi” HMI bisa dirunut ke belakang pada munculnya ide-ide modernisasi di negara-negara Muslim, yang kemudian menyebar ke kawasan Melayu-Indonesia.
Karena keindonesiaannya, HMI tampil sebagai organisasi Islam dalam format dan cita yang sedikit agak berbeda dengan penampilan organisasi Islam  di kawasan lingkaran peradaban besar Arab (Arabo-Islamic Civilization), yang terbentang dari Bahrain sampai Moroko, dan dari lingkungan peradaban besar Persian (Persian-Islamic Civilization), yakni kawasan Islam Asia Daratan mulai Bangladesh sampai Turki, hingga Eropa Timur, seperti Bosnia, Macedonia, Chechnya, dan Albania. “Perbedaan ini adalah nisbi belaka,” kata Cak Nur, “namun penting karena merupakan fungsi dari adaptasi kreatif yang melahirkan efektifitas. HMI berkiprah dalam lingkungan Asia Tenggara dalam lingkungan budaya besar Islam Nusantra (Nusantara-Islamic Civilazation), di mana Indonesia menjadi pusatnya.”[xxxi]
Tidak hanya itu, sebagai organisasi gerakan “keagamaan” yang berbasis mahasiswa, HMI sejak awal kelahirannya menampilkan fenomena yang relatif berbeda dengan gerakan-gerakan keagamaan lain di Indonesia. Dalam batas tertentu, ini membuat posisi HMI cukup khas dalam kancah gerakan Islam di Indonesia.[xxxii] Corak “ideologi” keagamaan HMI, oleh Greg Barton,[xxxiii] dan juga oleh persepsi umum, sering dimasukkan ke dalam tipologi “modernis.” Pertanyaannya, sejauhmana tipologi ini dapat diterima?
HMI, sesungguhnya tidak mempunyai “ideologi” keagamaan yang jelas benar. Pandangan dunia (weltanchaung) HMI pernah dirumuskan Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anhari, dan Sakib Mahmud atas rekomendasi kongres ke-9 HMI di Malang, 3-10 Mei 1969, dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang belakangan menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) dan sejak kongres HMI ke-22 di Jambi 1999 kembali menjadi NDP. Merujuk pada NDP atau NIK HMI ini, ideologi keagamaan HMI cenderung ke arah “modernisasi” kalau tidak dapat dikatakan “neomodernisme” Islam. Pada level praksis, “modernisme” Islam –yang lebih mementingkan substansi dari literalisme– dalam pengamatan saya, tetap menjadi orientasi kiprah HMI. Tetapi ini tidak untuk mengabaikan fakta bahwa pada dasawarsa terakhir ini, juga terdapat arus kuat pada sebagian anggota HMI untuk berikap lebih literalis dalam pemahaman mereka. Pada 1980-an, misalnya, kalangan ini muncul dan cukup kuat mengembangkan arus penolakan terhadap asas tunggal Pancasila, yang pada gilirannya menimbulkan friksi cukup tajam dalam HMI. Walaupun kaum “substansialis” berhasil memenangkan konflik-konflik ideologis tersebut, ini tidak berarti bahwa kelompok “literalis” ini lenyap sama sekali.[xxxiv]
Pandangan “keagamaan” dan sikap politik HMI, acapkali diasosiasikan dengan Masyumi –partai politik modernisme Islam paling terkemuka, terutama setelah NU pada 1952 mufaraqah dari Masyumi. Sering juga diasosiasikan dengan Nurcholish Madjid, figur “personifikasi” HMI yang paling menonjol, tokoh yang disebut sebagai “Natsir Muda”– representasi Masyumi. Tetapi sejauhmana pandangan-pandangan keagamaan dan sikap politik Masyumi sejajar dengan HMI? Masyumi tentu saja terkenal sebagai partai politik Islam yang paling gigih secara konstitusional memperjuangkan penetapan Islam sebagai ideologi dan atau dasar negara. Sementara itu, HMI memang pernah secara formal menyuarakan aspirasi dan sikapnya agar Islam dijadikan ideologi dan dasar negara, misalnya Keputusan Kongres ke-5 HMI di Medan 1957. Namun, sesungguhnya sikap HMI tentang hal ini sangat fluktuatif, dan keputusan Kongres Medan “terpaksa” diambil karena HMI ingin menolak gagasan Soekarno yang ingin mengakomodasi komunisme, sementara HMI memandang bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Hanya saja, secara umum HMI memang lebih berpijak pada substansi; ia lebih memperjuangkan pembentukan “masyarakat” yang secara sosiologis dan kultural Islami (baldatun thayyibatun wa rabb ghafur), ketimbang penetapan label “negara Islam.”[xxxv]
Dalam hal tertentu, menurut Barton, sikap politik-keagamaan HMI justru lebih dekat dengan NU dari pada Masyumi. Misalnya, ketika HMI meyakini bahwa penerimaan dan akomodasi dengan kenyataan politik yang represif. Sementara Demokrasi Terpimpin pada paruh kedua 1950-an dan awal 1960-an, tidak perlu melibatkan kompromi di bidang ideologi. Apalagi jika sikap akomodatif yang dikembangkan HMI tidak semata-mata dilandasi keinginan-keinginan yang bersifat egois untuk “jaga diri” maupun kemajuan diri sendiri. Pandangan HMI waktu itu, area politik hanya salah satu dari persoalan-persoalan penting lainnya, di mana yang terpenting adalah Islam itu sendiri. Dan, dari sinilah kenapa HMI menafsirkan Islam sesuai dengan substansi persoalan-persoalan sosio-religious daripada persoalan-persoalan politik. Dalam kaitan ini, para pemimpin HMI memiliki sudut pandang yang sama dengan para pemimpin NU di sepanjang periode ini; kedua pemimpin organisasi ini memperhatikan tanggung jawab mereka yang terbesar untuk mempertahankan organisasi sebagai kendaraan pendidikan dan stabilitas umat.[xxxvi] “Dalam dunia politik,” tulis Barton, “HMI dan NU mengambil posisi yang sama, yaitu memberi “udara” pada konstelasi kehidupan politik yang sedang diterpa badai. Bagi keduanya, perjuangan meraih cita-cita politik tertentu dijadikan persoalan kedua setelah demi kelangsungan nafas organisasi. Keduanya menyadari bahwa dibubarkannya organisasi berarti jutaan rakyat [kaum] Muslim biasa [awam] akan kehilangan harapan dari organisasi tersebut sebagai sumber utama pedoman moral dan spiritual,…”[xxxvii] Ketegangan hubungan HMI dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap berlanjut – bahkan setelah Masyumi membubarkan diri pada 13-9-1960 dengan Memorandum – yang puncaknya pada 1963 karena perbedaan keduanya dalam beberapa masalah kunci tersebut.
Jika ada kemiripan antara Masyumi dengan HMI, itu lebih menyangkut “kultur” politik yang sama-sama menekankan dan respek kepada toleransi dan pluralisme. Masyumi, meski memperjuangkan ideologi Islam, tidak terjerumus kepada eksklusifisme sempit; ia bisa bekerjasama dengan pihak-pihak lain; baik kalangan nasionalis bahkan non-Muslim. Tidak mengembangkan eksklusifisme pandangan keagamaan dan sikap politik sempit adalah juga merupakan mainstream HMI.[xxxviii]
Dalam bidang fikih, HMI disebut sebagai organisasi “yang tak bermazhab.” HMI tidak pernah mempersoalkan dan atau menjadikan persoalan perbedaan mazhab menjadi isu. Dalam batas tertentu, HMI mungkin lebih dekat kepada Muhammadiyah, tetapi, organisasi terakhir ini bukan tanpa orientasi madzhab tertentu; karena dalam banyak segi Muhammadiyah cenderung dipengaruhi “Hanbalisme”. Meski demikian, perilaku dan praksis keagamaan HMI tetap lebih mirip Muhammadiyah dari pada NU. Meskipun HMI tidak pernah mengangkat tema-tema neosalafisme, seperti pemberantasan takhyul, bid’ah, dan khufarat – seperti dilakukan Muhammadiyah – namun, praktek dan pengalaman keagamaan HMI-Muhammadiyah sama-sama “bersahaja;” tidak penuh nuansa dan “berbunga-bunga” seperti kental di NU. Praksis keagamaan HMI – dan juga Muhammadiyah – memang lebih menekankan aspek kognitif dari pada afektif. Karena itu, pengalaman keagamaan dalam HMI cenderung sangat kering.[xxxix]
Karena itu, sia-sia saja jika anggota-anggota HMI ingin mengembangkan dan atau menemukan pengalaman keberagamaan yang intens dalam organisasi mereka. Pengembangan pemikiran dan sikap keberagamaan HMI lebih ditekankan pada akal dari pada qalb. Ini mengakibatkan implikasi yang cukup signifikan bagi perkembangan HMI, khususnya pada dasawarsa terakhir. Ketika antusiasme keberagamaan melanda banyak kalangan mahasiswa dan kaum muda, HMI dengan penekanan pada akal ketimbang qalb, dianggap tidak mampu memberi apa yang mereka cari. HMI dipandang kurang relevan dengan semangat antusiasme tadi, sehingga HMI pada gilirannya tidak menjadi wadah yang tepat bagi mereka untuk berhimpun. Di sinilah kelompok-kelompok keagamaan yang sering disebut sebagai harakah menemukan momentumnya, khususnya di kampus-kampus “umum” seperti ITB, IPB, UGM, dan UI, dan pada saat yang sama, HMI mulai kehilangan rasion d’etre-nya di sana. Dalam hal ini, dibandingkan dengan KAMMI misalnya, HMI telah kalah selangkah.
Jika ditanyakan, siapa di antara kader-kader yang telah “dididik” di HMI yang menjadi personifikasi ideal pemikiran keIslaman-keindonesiaan HMI?
Pertanyaan ini tidak mudah dicari jawabannya; tetapi sangat relevan diangkat di tengah-tengah zaman di mana HMI, dan KAHMI, tidak bisa tidak harus menempatkan diri dan kiprahnya sebagai usaha membangun peradaban bangsa. Membangunn sebuah peradaban tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan intelektualitas dan profesionalitas, tetapi harus diletakkan di atas landasan tumpu nilai-nilai agung kemanusiaan-keagamaan, seperti moral, spiritual, dan budaya. Nilai-nilai universal itu hanya bisa diproduksi oleh kader-kader HMI, dan KAHMI, yang memiliki daya-daya mental-psikologis tertentu sehingga tajam mata nurani (bashirah), peka daya rasa persepsi (dzawq), kukuh identitas dan potensi primordial (fitrah), dan tangguh independensinya (istiqlaliyah). Insan HMI dan KAHMI seperti ini memandang “bekerja” dan “mengabdi” kepada negara dan bangsa sebagai ibadah (ta’abud) dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT., untuk memperoleh ridho-Nya (mardhatillah). Kuat dugaan bahwa kualitas–kualitas pribadi HMI seperti inilah yang membuat mereka “siap” untuk “lulus” menjalani cobaan buruk (bala’un say’un) HMI pada 1950-1965-an, ketika HMI tanpa peduli harus memikul pukulan berat serangan yang dilancarkan kekuatan anti-Islam sayap kiri. “Situasi ini,” dalam kalimat Barton,” menunjukkan keberanian HMI untuk menderita demi Islam.”[xl]
Akomodasi terhadap umat Islam, termasuk HMI dan KAHMI, oleh negara sejak 1990-an adalah sebuah gerak sejarah yang tak terhindarkan (inevitable). Buah dari agenda yang “dirintis” sejak 1951 oleh generasi pertama HMI dan secara intelektual sejak 1970-an oleh generasi aktivis dan pemikir Muslim baru ini sesungguhnya merupakan momentum kalangan santri, terutama HMI dan KAHMI secara kolektif, untuk merebut kepemimpinan moral, spiritual, dan intelektual bangsa, yang pada gilirannya juga memimpin dalam membangun peradaban bangsa. Terakomodasinya kader-kader terbaik HMI (KAHMI) di berbagai struktur lembaga negara sesungguhnya merupakan cobaan baik (bala’un hasanun) terhadap HMI dan KAHMI untuk menciptakan clean government, adil, dan demokratis. Sayangnya, sejarah akhirnya mencatat, secara kolektif HMI dan KAHMI –meskipun tidak seluruhnya– belum terbukti lulus menghadapi cobaan baik tersebut. Secara kolektif, sekali lagi, HMI dan KAHMI tampak kehilangan fokus sejarah menghadapi “daya tarik” dan “daya pikat” kekuasaan. Momentum itu telah lewat, memang, namun bukan berarti terlambat bagi HMI dan KAHMI untuk secara kolektif mencegah hancurnya peraddaban bangsa.
Meskipun pada dekade terakhir, ada trend “penurunan” jumlah anggota dan dinamika HMI, namun model perkaderan HMI masih tergolong yang terbaik. Kesetaraan (equality) dan kesederajatan (egalitarianism), sebagai prinsip paling menonjol dalam budaya HMI, juga KAHMI, telah memungkinkan semua aktivis organisasi ini melakukan mobilitas vertikal, baik di level pemerintahan maupun di lapangan sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, HMI telah berhasil melakukan pemberdayaan sosial, ekonomi dan politik umat. Dibandingkan dengan sesama organisasi kemahasiswaan lain, HMI masih tergolong yang terdepan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, relevan jika kita bercermin kepada pada founding fathers awal HMI. Lafran Pane, dalam penilaian Cak Nur, merupakan personifikasi ideal namun nisbi dari pemikiran keIslaman dan kiprah keindonesiaan HMI. Itu terlihat dari keteguhan iman dan amal perbuatan Lafran yang sangat tulus, jujur, tawadu’, independen, visioner, konsisten, dan demokrat. Lafran tetap menjaga sikap dan memegang teguh prinsip seperti itu, sungguhpun generasi HMI angkatan 1960-an, 1970-an, dan 1980-an sebagai generasi penerusnya telah banyak yang “menjadi orang”. Dalam taraf tertentu, Lafran bahkan terkesan “menarik diri” dari “prestasi” yang diraih generasi ini. Amal perbuatan seperti itu, kata Cak Nur, sebagai kumpulan akhlak pribadi yang sangat terpuji, dan nilai-nilai ini sangat dihayati beliau. Lafran di samping sebagai Muslim juga seorang Nasionalis, yang mempunya wawasan sendiri, berbeda dengan partai politik Islam yang ada waktu itu.
Pribadi-pribadi yang agung, juga kita kenali dari tokoh seperti Achmad Tirtosudiro[xli] dan Dahlan Ranuwihardjo. Kita hadirkan figur Lafran, Tirto, dan Dahlan ke dalam memori kolektif kita, sama sekali bukan sebagai usaha melakukan glorifikasi dan atau romantisme masa lalu yang semu, tetapi sebagai kritik atas kiprah sejarah kolektif kita sebagai warga HMI selama ini. Mungkin memang sudah waktunya kita merenung sejenak, agar ada kesempatan bagi nurani kita untuk bertanya; apakah pengabdian kita sejauh ini telah searah dengan cita-cita HMI?
HMI Cabang Ciputat –berada di lokasi yang dekat dengan ibukota Jakarta– teribat banyak dalam dinamika HMI pada tingkat nasional. HMI Cabang Ciputat juga memasok aktivis, pemikir, dan pemimpin HMI. Berbasis pada IAIN (sejak 2002 menjadi UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, HMI Cabang Ciputat terlibat secara intens dalam pemikiran keislaman-keindonesiaan, seperti secara tipikal dan cemerlang diwakili Cak Nur dalam karya besar semacam NDP.
Tetapi Cak Nur tidak pernah bisa tergantikan, baik di lingkungan HMI Cabang Ciputat; dan bahkan pada tingkat Indonesia sekalipun. Dengan demikian, pengembaraan HMI baik pada tingkat lokal dan nasional merupakan perjalanan yang tidak pernah selesai.
Dalam pengembaraan itu, memori kolektif generasi demi generasi mestilah senantiasa disegarkan. Karena dalam kandungan memori itu banyak yang bisa menjadi inspirasi untuk melangkah lebih baik ke depan. Dalam konteks itu, karya ini merupakan rekam memori kolektif dari Ciputat. Semoga bisa mengilhami.

[i] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85

[ii] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa,” dalam Ramli H.M. Yusuf (ed.), 50 Tahun HMI Mengabdi Republik, (Jakarta: LASPI, 1997), h. 114

[iii] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85

[iv] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Tahun 1947-1975), (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), h. 27

[v] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa,” Retorika yang dikembangkan HMI sebagai “anak kandung umat Islam” dibuktikan oleh Keputusan Kongres HMI di Kaliurang-Yogyakarta 1951, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Kaliurang, yang memberi dukungan sama pada keempat partai politik Islam, Masyumi, NU, PSII, dan Perti, untuk berlaga di ajang Pemilu 1955, meskipun keputusan ini membuat hubungan Hmi-Masyumi memburuk. Lihat Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Ismet Natsir (peny.), (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 144-145

[vi] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Tahun 1947-1975), h. 20

[vii] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Perjuangan Bangsa Indonesia, (Jakarta: Inegrita Dinamika Press, 1986), h. 69-70

[viii] Lihat naskah lengkap Anggaran Dasar HMI Hasil Keputusan Kongres I HMI di Yogyakarta tanggal 30 November 1947, yang terdiri daari 12 pasal. Untuk itu lihat Agussalim Sitompul, Histografi HMI 1947-1993, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 1995). Lampiran 2, h. 246

[ix] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa,…, h. 114-115

[x] Sutan Pangarubaan juga seorang pengusaha, menjabat sebagai Direktur jasa angkutan ODP (Oto Dinas Pangangkutan) Sibualbuali yang berdiri 1937 dan berkedudukan di Sipirok. Dalam pergerakan Islam, Pangarubaan termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Neneknya adalah adik dari ulama besar Sipirok, Syekh Badurrahman Pane sementara dua orang abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, tercatat sebagai tokoh dan pelopor Pujangga Baru di lembar kesusasteraan Indonesia. Lebih lanjut lihat pada bab II Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”; lihat juga Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI.., h. 157; dan Agussalim Sitompul, HMI Dalam Pandangan Seorang Pendeta: Antara Impian dan Kenyataan Koreksi Terhadap Victor Tanja Berjudul Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 32

[xi] Lihat Sudjoko Prasojo, “Drs. Lafran Pane” dalam Majalah Media, Tahun III, Nomor 7 (Februari 1957), h. 32 dikutip dari Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  h. 43

[xii] Lihat Sudjoko Prasojo, Majalah Media.., h. 34 dan Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  h. 45-47

[xiii] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa.., h. 115

[xiv] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85

[xv] Herbert Feith, The Indonesian Election of 1955, (Ithaca: Modern Indonesian Project, Cornell University, 1957)

[xvi] Lihat Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1994), h. 23

[xvii] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang Berubah…, h. xxvii-iii

[xviii] Sidang Politbiro CC PKI 1954 berhasil merumuskan metode revolusi yang cocok buat Indonesia yaitu Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP). Yakni (1) Perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin (kelak jadi BTI); (2) Perjuangan revolusioner kaum buruh tani dan tani terutama kaum buruh angkutan (kelak SOBSI), (3) Bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan Angktan Bersenjata (kelak menjadi Biro Khusus PKI). Lebih lanjut lihat Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.., h, 23; Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997…, bab II

[xix] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang Berubah…, h. xxviii-iv

[xx] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang Berubah…, h. xxvix-x

[xxi] Herbert Feith, The Indonesian election of 1955…, h. 540

[xxii] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI.., h. 32, 72

[xxiii] Tentang ketegangan politik umat Islam vis-à-vis PKI pada periode ini, antara lain lihat Sya’ban H. Muhammad, Islam in Indonesian Politics, (Delhi: Ajanta Publications, 1999), h. 91-99

[xxiv] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformaasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), terutama bab IV.

[xxv] Lihat, Yogya Post, Rabu Pon, 19 Maret 1997; Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI.., h. 32

[xxvi] Dikutip dari Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 26, 38

[xxvii] Lihat Nurcholish Madjid, “Integritas Keislaman dan Keindonesiaan untuk Menata Masa Depan Bangsa”, Makalah disampaikan pada Pembukaan Klub Kajian Agama (KAA) Paramadina, Jakarta, 1986. dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 126

[xxviii] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, khususnya bab V.

[xxix] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 273-310

[xxx] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak Bangsa.., h. 115

[xxxi] Nurcholish Madjid, “Mempertegas Visi Perjuangan HMI” dalam Abdullah Hafidz et. al., (ed.) HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan, Menghadapi Pergantian Zaman, (Jakarta: Majelis Nasional KAHMI, 1997), h. 93-94

[xxxii] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 160

[xxxiii] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, Terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paaramadina-Pustaka Antara, 1999)

[xxxiv] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85

[xxxv] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 161

[xxxvi] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,  Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85

[xxxvii] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, h. 62

[xxxviii] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 160

[xxxix] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 160

[xl] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, h. 6

[xli] Lihat misalnya, apresiasi Soetjipto Wirosardjono, “Ahmad Tirtosudiro” dalam Resonansi, Republika, Rabu 12 Maret 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar