Oleh : Prof. Dr. Azyumardi Azra
(Cendekiawan Muslim)
Dalam Buku "Membingkai Perkaderan
Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat"
Gagasan dan usaha untuk memunculkan
sebuah organisasi mahasiswa Islam untuk menampung aspirasi mahasiswa Islam akan
kebutuhan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan keagamaan yang aktual,
sesungguhnya telah mulai muncul sejak akhir November 1946.[i] Tetapi, secara
organisatoris baru menjadi kenyataan dengan didirikannya HMI pada 14 Rabi’ul
Awal 1364 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 M.
kelahiran HMI yang hanya
berselang dua tahun dari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
cukup menggambarkan bahwa atmosfir saat itu sangat diwarnai semangat
revolusioner. Kemerdekaan sejati baru berhasil direbut kembali ketika Belanda
memberi pengakuan kedaulatan kepada bangsa Indonesia pada 27 Desember 1949.
Karena itu, HMI berada di tengah-tengah zaman di mana energi dan psikologi umat
Islam dan bangsa banyak tersita guna mempertahankan proklamasi kemerdekaan dan
mengusir kolonial yang berusaha menjajah rakyat Indonesia kembali.
Semangat
revolusioner umat Islam sendiri tergalang secara massif sejak K.H Mohammad
Hasyim Asy’ari dari NU dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo dari PII (Partai Islam
Indonesia) mempersatukan revolusi umat Islam Indonesia di bawah bendera partai
politik Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) dan partai-partai Islam lain,
maupun organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah, Persis,
PUI, dan seterusnya. Melalui kongres Umat Islam Indonesia I di Yogyakarta, 7
November 1945. Dalam partai umat Islam itu, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai
Ketua Umum Majelis Syura (Dewan Partai)
partai, sementara Soekiman duduk sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Masyumi.
Adalah logis jika suasana romantik yang penuh solidaritas revolusioner itu
kemudian mendorong banyak pemimpin Islam untuk bersatu dan bertekad menetapkan
Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.[ii]
Mobilisasi
besar-besaran potensi revolusi umat Islam meningkat luar biasa melalui Masyumi.
Dan emosi zaman pada saat HMI lahir masih belum terlepas benar dari semangat
solidaritas penuh romantisme tersebut. Dalam suasana seperti itu dapat
dikatakan, bahwa Lafran Pane beserta keempat belas temannya sesama mahasiswa
tingkat 1 Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang mendirikan HMI sebenarnya
hanya merupakan bagian kecil saja dari keseluruhan dinamika umat dan bangsa
yang luas dan besar itu. Mudah dipahami jika gagasan Lafran dan kawan-kawan
dalam mendirikan HMI pada saat itu bagi sebagian orang bukanlah sesuatu yang
mengesankan.
Yang
terjadi justru sebaliknya; beberapa organisasi mahasiswa memandang sangat
serius, untuk tidak mengatakan curiga, atas kehadiran HMI. Reaksi pertama
muncul reaksi dari Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang berdiri pada
1946; kecurigaannya dipicu oleh faktor ideologis, karena PMY berhaluan komunis.
HMI juga mendapat reaksi dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII), organisasi
sayap kepemudaan Masyumi yang berdiri di Jakarta 2 oktober 1945, dan dari
Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947. Seperti
PMY, keduanya menuduh HMI pemecah belah kekuatan mahasiswa dan pemuda. Dalam
suasana revolusioner seperti itu, bagi mereka yang penting adalah persatuan
seluruh elemen kekuatan revolusi. Atas dasar itu mereka memandang tidak lagi
perlu mendirikan organisasi mahasiswa secara khusus seperti HMI.[iii]
Reaksi-reaksi itu berjalan sembilan bulan lamanya dan baru berakhir pada akhir
November 1947.[iv]
Di
tengah adanya resistensi terhadap HMI, menjadi sedikit sekali pilihan yang ada
di hadapan Lafran dan kawan-kawan. Apalagi umat Islam Indonesia waktu itu
berada di bawah ketokohan Hasyim Asya’ari dan Soekiman Wirdjosandjojo, yang
membawa kebesaran panji-panji Masyumi. Satu-satunya pilihan ialah menempatkan
HMI sebagai anak umat.[v] Sadar benar bahwa HMI lahir dalam kancah perang dan
revolusi, para organisasi ini meletakkan semangat dan tujuan yang jelas bagi
HMI, seperti tercantum dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI, yaitu: (1)
mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia; (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.[vi] Kedua tujuan
tersebut mempertegas fakta sejarah bahwa HMI lahir sebagai anak kandung zaman
revolusi, dan pada saat yang sama juga mencerminkan anak kandung umat Islam
yang sensitif atas gelagat sejarah kurang berpihak pada Islam dan Muslimin.
Dari
latar belakang berdirinya HMI, yang sering diungkap Sejarwan HMI Agussalim
Sitompul, ternyata dapat diketahui organissasi ini sealu menempatkan diri
sebagai anak umat dan bangsa sekaligus. Kesan itu dengan jelas sekali terlihat
dari latar sejarah berdirinya HMI berikut ini: (1) PMY, sebagai satu-satunya
organisasi kemahasiswaan waktu itu lebih berorientasi sekuler, menjadi sayap
partai sosialis, dan bahkan berhaluan komunis, sehingga jauh dari semangat
keislaman; (2) terjadinya krisis keseimbangan di kalangan mahasiswa akibat dari
suasana Perguruan Tinggi yang tidak mengintegrasikan disiplin ilmu umum dengan
agama; (3) situasi umat Islam yang terpecah belah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik di tengah kemiskinan
dan kebodohan; dan (4) suasana bangsa Indonesia yang tengah mengalami masa
revolusi untuk mempertahankan
kemerdekaan.[vii] Tetapi bagaimanapun, HMI sedikit lebih memprioritaskan diri
sebagai anak umat dari pada anak bangsa; ini memang ketika HMI menggelar
Kongres 1 HMI di Yogyakarta 30 November 1947 yang antara lain memutuskan, bahwa
rumusan tujuan HMI mengalami perubahan, sehingga berbunyi: (1) mempertegak dan
mengembangkan ajaran agama Islam; dan (2) mempertinggi derajat rakyat dan
Negara Republik Indonesia.[viii]
Posisi
sebagai anak umat dipertegas oleh Lafran dan kawan-kawan dengan meninggalkan
sekat-sekat parokialisme dan sektarianisme yang saat itu menyelimuti umat Islam
umumnya. Dengan demikian, sama dengan Masyumi, HMI ingin memiliki basis dan
sumber dukungan pada umat Islam secara keseluruhan. Cak Nur, panggilan ta’dzim
kepada Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menduga bahwa dalam diri Lafran dan
kawan-kawan, yang kemudian ditularkan kepada HMI, terdapat kearifan (wisdom)
yang tersembunyi, yaitu kesadaran keagamaan-kebangsaan yang inklusifistik.
Pandangan ini jauh lebih luas dan melampaui primordialisme keagamaan
konservatif.[ix] Karena tumbuh dari kalangan keluarga terpelajar, menurut Cak
Nur, Lafran telah terbiasa dengan wawasan keagamaan-keindonesiaan modern dengan
pandangan sosial-politik-religius yang serba meliputi. Lebih lanjut,
kosmopolitanisme pandangan Lafran tidak hanya karena ia adalah anak seorang
Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakaan nasional “serba komplit” dari
Sipirok, Tapanuli Selatan[x]– tetapi juga karena merupakan “buah” dari pergulatan
hidup Lafran kecil, remaja, hingga menginjak dewasa yang tidak “normal”. Tidak
berlebihan jika dikatakan, bahwa proses pencarian identitas HMI sebenarnya
dimulai dan bersamaan waktunya dengan proses pencarian jati diri Lafran
sendiri. Sebab, sebagaimana diakui Sudjoko Prasodjo, “sesungguhnya tahun-tahun
permulaan riwayat HMI hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane sendiri.
Karena dialah yang memegang andil terbanyak pada masa-masa lahirnya HMI, untuk
tidak menyebutnya sebagai pendiri utamanya.”[xi]
Lafran
kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak
sekolah yang rajin,” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling
menonjol dari independensinya. Independensi Lafran tidak terletak pada
netralitas keilmuannya, tidak pula pada pandangan keagamaannya, tetapi pada
sikap kritis dan etisnya dalam memandang dan mencari kebenaran. Sebagai seorang
figur pencari sejati, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak ia lalui dengan
“normal” dan “lurus” itu; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota
Medan, terutama di kawasan jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak
menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang ia
jalani dengan menjual karcis bioskop, main kartu, menjual es lilin,dll.[xii]
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui, struktur fundamental independensi
diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan dia untuk terus secara kritis
mencari tanpa kenal lelah, di mana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja.
Dapat
dipahami jika, dengan sendirinya wawasan Lafran sangat mewarnai struktur
fundamental wawasan HMI. Dalam konteks ini, independensi HMI adalah
institusionalisasi sikap, pandangan hidup, dan karakter pribadi Lafran. Karena
itu tidak aneh jika sejak semula HMI menunjukan sikap independensi tinggi, yang
menolak dikooptasi sebagai bawahan (anderbouw) kelompok politik mana saja,
bahkan Masyumi sekalipun.[xiii] Independensi HMI adalah sebuah pemberontakan
terhadap arus pandangan keagamaan dan politik umat Islam yang primordial,
parokial, dan sektarianis pada waktu itu. Karakter independensi seperti ini
hampir sama persis dengan sejarah hidup Lafran yang penuh pemberontakan
terhadap pola-pola pencarian kehidupan yang “lazim” dan “biasa” pada perempat
awal hidupnya.
Setelah
berhasil ditransformasikan ke dalam institusi organisasi, watak dan karakter
independensi mewujud dalam level organisatoris dan level etis. Independensi
organisatoris, sekali lagi, akan mencegah organisasi mahasiswa ini berafiliasi, apalagi menjadi onderbauw, organisasi
sosial dan atau kekuatan politik manapun, sementara independensi etis akan
menuntun HMI untuk tetap setia mencari dan memperjuangkan kebenaran. Sejak awal
berdirinya, independensi berhasil menjadi sumber energi moral dan intelektual
bagi HMI dalam menjalankan misi organisasi.
Ketika
konfigurasi kekuatan-kekuatan politik nasional mulai berubah pada akhir
1950-an, HMI masih mengusung independensi yang sama. Sikap itu juga yang
ditunjukkan HMI ketika menghadapi berbagai masalah nasional saat itu. Begitu
juga ketika Pemilu 1955 menghasilkan komposisi perolehan suara yang
mengejutkan, yang meskipun dua partai Islam terbesar (Masyumi dan NU) termasuk
empat besar, namun di luar dugaan banyak orang jika PNI –partai priyayi
berbasis abangan-kejawaan ---sebagai pemenangnya. Pada saat inilah mitos kaum
Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mulai dipertanyakan secara
politik.[xiv] Apalagi kemudian PKI, setelah pemberontakan 18 September 1948
yang gagal namun tidak dibubarkan pemerintah, melakukan konsolidasi dan
melakukan penyegaran kepemimpinan sejak awal 1950-an, juga masuk dalam
konfigurasi empat besar itu.[xv] Sebagaimana diketahui bersama, kebijakan
demokrasi liberal di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959, memberi kesempatan
kepada PKI mengadakan konsolidasi dan rehabilitasi. Alimin mengaktifkan kembali
PKI pada 4 Februari 1950 dan pertengahan 1950 pucuk pimpinan PKI dipegang DN
Aidit. Seterusnya pada Januari 1951 CC PKI memilih Politbiro baru yang terdiri
dari D.N Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman dan Alimin. Politbiro baru inilah
yang kemudian berhasil membangun kembali PKI.[xvi]
Realitas
politik baru “hasil” demokrasi liberal ini menimbulkan implikasi besar secara
nasional, termasuk krisis yang dialami HMI pada awal dan pertengahan 1960-an.
Krisis ini adalah implikasi yang ditimbulkan kekecewaan kolektif baik
para-komando militer maupun banyak
pemimpin politik luar Jawa. Kekecewaan ini berakar dari berbagai masalah yang
tak terselesaikan di awal kemerdekaan yang menandai ketegangan hubungan pusat
dan daerah-daerah luar Jawa. Pada mulanya, para pemimpin luar jawa mengharapkan
terjadinya penyelesaian tuntas berdasarkan komposisi perolehan suara pada
Pemilu 1955. Namun, akhirnya para pemimpin ini merasa tidak mempunyai wakil
yang memadai bagi penyaluran aspirasi mereka, ketika fakta menunjukkan tiga
kelompok dari “ empat besar” pemenang Pemilu itu adalah partai-partai berbasis
Jawa (PNI, NU dan PKI ). Sementara Masyumi, pemenang kedua pada Pemilu 1955,
yang dianggap mewakili luar jawa tidak cukup kuat membawa aspirasi mereka,
karena hanya salah satu kekuatan saja dalam “kepungan” Java-based-parties di
atas. Kondisi inilah yang menimbulkan gerakan-gerakan pembangkangan
para-komando militer di daerah-daerah yang berlanjut dengan munculnya gerakan
PRRI di padang 15 februari 1958 dan Permesta di Manado 1957.[xvii]
Hasil
Pemilu 1955 membangkitkan kenangan Soekarno akan gagasan-gagasannya di waktu
muda (1927) tentang keharusan bersatunya kekuatan-kekuatan nasionalis utama di
Indonesia melawan penjajahan, yaitu Nasionalisme, Islam dan Marxisme (Nasimar).
Begitu PKI muncul dalam empat besar dalam Pemilu 1955, maka soekarno tidak bisa
mengabaikan fakta bahwa PKI memperoleh dukungan sekitar enam juta
pemilih.[xviii] Konsisten dengan pandangan politiknya di masa muda, melalui
konsepsi presiden pada 21 Februari 1957, Soekarno mendesak supaya PKI
dimasukkan ke dalam Kabinet. Sejalan dengan semangat demokrasi terpimpin,
masyarakat Indonesia lebih mengutamakan semangat gotong-royong dalan suasana
kekeluargaan. Dengan semangat gotong-royong dalam semangat kekeluargaaan ini,
Soekarno kemudian merangkul dan melembagakan empat aliran partai politik
pemenang Pemilu 1955 pada konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis)
1961.[xix]
Akomodasi
dan pengakuan Soekarno terhadap PKI seakan memberi angin kepada partai ini
untuk melakukan inisiatif politik. Dominasi peran PKI pada konstalasi politik
Nasional antara lain karena pemberontakan PRRI-Permesta. PKI memperoleh
keuntungan besar dari krisis kewilayahan, sebab ketegangan pusat-daerah ini
sesungguhnya adalah gerakan-gerakan yang berbau hasta, PSI dan Masyumi, dan
karena itu, terkesan sangat anti-komunis. Gejalak disintegrasi national yang
dimotori gerakan kedaerahan PRRI-Permesta ini sekaligus menempatkan PKI sebagai
satu-satunya kekuatan sosial-politik yang paling loyal terhadap Jakarta dan
Soekarno. Ini adalah titik kulminasi dari usaha PKI ketika sejak Pemilu 1955
yang secara intensif berusaha mendekati Soekarno dengan mendukung sepenuhnya
seluruh gagasannya.[xx] Feith menulis bahwa ketika konsepsi presiden diumumkan
di Istana Negara pada 2 Februari 1957, PKI mengerahkan puluhan ribu massa
berbendera palu arit berdemonstrasi di luar pagar istana untuk mendukung
gagasan Soekarno. Dukungan total PKI terhadap seluruh kebijakan Soekarno
semakin membuka peluang bagi PKI untuk mencengkramkan kuku pengaruhnya di
istana; dan dalam konteks seperti itu, PNI yang memperoleh suara terbanyak pada
Pemilu 1955 “tergeser” pengaruh politiknya sehingga menjadi kekuatan politik
kedua dari kalangan yang paling dekat dengan istana, setelah PKI.[xxi]
Ketika
PKI berada di atas angin inilah HMI menghadapi krisis. Sejak sangat awal, PKI
memiliki kecenderungan menghancurkan semua kekuatan yang dianggap menghalangi
laju ekspansi kekuasaannya. Krisis yang dialami HMI sejak 1947-1948 terjadi
antara lain karena sebagian besar energi dan perhatian HMI –bersama Angkatan
Darat—dicurahkan untuk menghadapi revolusi fisik dan pemberontakan PKI di
Madiun. Apa yang dilakukan HMI dengan membentuk Corps Mahasiswa di bawah
komando Achmad Tirtosudiro itu baru
dirasakan pada 1950-1951. Pada masa ini, secara internal, konsolidasi dan gerak
organisasi HMI seperti berjalan di tempat, untuk tidak menyebutnya vakum.
Kesibukan HMI untuk menangani persoalan kebangsaan telah membuat konsolidasi
internal organisasi ini baru bisa berakhir pada 1963.
Krisis
selanjutnya terjadi ketika HMI harus berhadapan dengan mahasiswa komunis di
Perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan dengan berdirinya CGMI pada 1957.
Krisis ini menghebat setelah PKI berhasil menyingkirkan pengaruh Hatta,
membubarkan Masyumi dan PSI pada 1960, dan mendeskreditkan tokoh dan atau
kekuatan non-komunis, misalnya di bidang kebudayaan dan sastra. Sejarah
akhirnya mencatat, bahwa ketika gencar-gencarnya Presiden Soekarno mewacanakan
persatuan Nasakom, pada 30 September 1965 PKI kembali melakukan pemberontakan
bersenjata untuk merebut kekuasaan.[xxii] Ketegangan sengit ideologis-politis
ini berakhir sejak dibubarkan dan dilarangnya PKI, bersama CGMI, pada 12 maret
1966.[xxiii]
Dengan
demikian, dapat dipahami, pemikiran keIslaman-keindonesiaan HMI, belum
terumuskan secara komprehensif hingga 1965-an. Namun, periode ini juga adalah
“masa menanam” yang buahnya baru dituai
pada 1970-an. Pada era ini muncul pemikir dan aktivis muda Islam briliyan
seperti Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin, Ekky Syahruddin,
Djohan Effendy, M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, Imaduddin
Abdurrahim, Adi Sasono, dan seterusnya. Meminjam istilah Bahtiar Effendy,
kemunculan “intelektualisme Islam baru”[xxiv] ini, hemat saya, sama sekali di
luar dugaan para founding fathers HMI sendiri, seperti Lafran Pane, Achmad
Tirtosudiro, dan Dahlan Ranuwihardjo. Juga tak terbayangkan oleh ke-14
mahasiswa STI yang bersama-sama Lafran menggagas berdirinya HMI, seperti
Karnoto Zarkasyi (menetap di Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah
I(istri Dahlan Husein-Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah
K.H.A. Dahlan-Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Ghozali (Semarang, juga
pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu),
Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (mantan Pengurus NU Jatim-Malang), Bidron
Hadi (ahli falak PP Muhammadiyah, Kauman-Yogyakarta), Zulkarnaen (Bengkulu) dan
Mansyur.[xxv]
Sesungguhnya
mantan pimpinan HMI 1950-an dan Angkatan 66 adalah generasi pertama HMI yang
berpartisipasi dalam pemerintahan di bawah patronase “kelompok teknokrat”
Widjojo Nitisastro dan Sumitro Djojohadikusumo, meski dalam kenyatannya mereka
hanya menempati lapisan kedua setelah kelompok teknokrat tersebut. Di antara
mereka yang masuk pada posisi kedua dalam lingkaran teknokrat tersebut ialah
Deliar Noer, Bintoro Tjokroamadjojo, Barli Halim, Madjid Ibrahim, Zainul Zasmi,
Omar Tusin, Bustanil Arifin, dan banyak lagi. Hanya saja, menurut M. Dawan
Rahardjo, mereka masuk ke birokrasi dan secara tegas mendukung modernisasi,
tidak melalui diskusi yang sifatnya intelektual, tetapi berpartisipasi langsung
pada kegiatan pembangunan.[xxvi]
Sementara
itu, generasi aktivis dan pemikir muslim baru yang lebih muda, berusaha masuk
ke lingkaran kekuasaan dengan alternatif berbeda, meskipun sama-sama mendukung
modernisasi. Generasi baru pemikir dan aktivis Islam ini sejak 1970-an berusaha
mengembangkan format baru politik Islam di mana substantsi, bukan bentuk,
merupakan titik-tekan utamanya. Paham keIslaman dan keindonesiaan –dua unsur
penting yang memberikan legitimasi kultural dan struktural terhadap pembentukan
“Negara kesatuan Nasional” Indonesia– disintesakan dan diintegrasikan secara
harmonis. Tema dan agenda yang menarik perhatian mereka adalah (1) peninjauan
kembali landasan teologis atau filosofis politik Islam; (2) pendefinisian
kembali cita-cita politik Islam; dan (3) penilaian kembali tentang cara-cara
bagaimana cita-cita politik tersebut dapat dicapai secara secara efektif.
Adapun prinsip-prinsip pokok idealism dan aktivisme mereka dapat dipetakan ke
dalam tiga wilayah penting: (1) pembaharuan teologis atau keagamaan; (2)
reformasi politik atau birokrai; dan (3) transformasi sosial.[xxvii]
Ketiga
bidang pembaharuan yang diusung generasi intelektualisme baru ini
terintegrasikan dalam suatu upaya bersama untuk mengembangkan gagasan dan
praktik politik Islam baru. Yakni, membangun rekonsilisasi politik antara Islam
dan Negara.[xxviii] Terlepas dari faktor dukungan politik ABRI terhadap
Soeharto mulai melemah pada 1990-an, yang pasti, upaya yang telah dirintis
generasi intelektualisme baru ini mulai membuahkan hasil. Pada era ini mulai
tumbuh sikap akomodatif negara terhadap Islam dengan diterapkannya
kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik
umat Islam. Akomodasi dimaksud meliputi empat hal: (1) akomodasi struktural;
(2) akomodasi legislatif; (3) akomodasi infrastruktural; dan (4) akomodasi
kultural.[xxix]
Berdirinya
HMI menandai bangkitnya kembali kesadaran intelektual Muslim Indonesia yang
sebelumnya sudah didahului dengan berdirinya DI, SI, MIAI, JIB, Masyumi, dan
lain-lain. Sungguhpun berdirinya HMI sempat menimbulkan friksi dengan GPII
–sayap kepemudaan Masyumi– dan PII, namun Cak Nur mengakui bahwa kedekatan HMI
dengan Masyumi memang tak terhindarkan, meskipun bukan dalam pengertian
struktural organisatoris, tetapi dalam hubungan misi, aspirasi dan visi
pemikiran organisasi yang lebih mendasar. Kedekatan itu karena Masyumi, yang
dipimpin para politisi Nasionalis Islam berpendidikan Barat modern, tampil
dalam kinerja sosial politik dan keagamaan yang maju dan konstruktif pada
zamannya. Mereka mengusung dan mendesakkan tema-tema yang membuka akal dan
kesadaran, seperti demokrasi, keterbukaan, persamaan dan keadilan sosial serta
menolak gagasan sektarianisme keagamaan yang sempit.[xxx] Sebagai organisasi
kemahasiswaan, pada level gagasan semacam itulah jejak-jejak arkeologis dan
geneologis pemikiran HMI dibangun. Bahkan, gagasan “modernisasi” HMI bisa
dirunut ke belakang pada munculnya ide-ide modernisasi di negara-negara Muslim,
yang kemudian menyebar ke kawasan Melayu-Indonesia.
Karena
keindonesiaannya, HMI tampil sebagai organisasi Islam dalam format dan cita
yang sedikit agak berbeda dengan penampilan organisasi Islam di kawasan lingkaran peradaban besar Arab
(Arabo-Islamic Civilization), yang terbentang dari Bahrain sampai Moroko, dan
dari lingkungan peradaban besar Persian (Persian-Islamic Civilization), yakni
kawasan Islam Asia Daratan mulai Bangladesh sampai Turki, hingga Eropa Timur,
seperti Bosnia, Macedonia, Chechnya, dan Albania. “Perbedaan ini adalah nisbi
belaka,” kata Cak Nur, “namun penting karena merupakan fungsi dari adaptasi
kreatif yang melahirkan efektifitas. HMI berkiprah dalam lingkungan Asia
Tenggara dalam lingkungan budaya besar Islam Nusantra (Nusantara-Islamic
Civilazation), di mana Indonesia menjadi pusatnya.”[xxxi]
Tidak
hanya itu, sebagai organisasi gerakan “keagamaan” yang berbasis mahasiswa, HMI
sejak awal kelahirannya menampilkan fenomena yang relatif berbeda dengan
gerakan-gerakan keagamaan lain di Indonesia. Dalam batas tertentu, ini membuat
posisi HMI cukup khas dalam kancah gerakan Islam di Indonesia.[xxxii] Corak
“ideologi” keagamaan HMI, oleh Greg Barton,[xxxiii] dan juga oleh persepsi
umum, sering dimasukkan ke dalam tipologi “modernis.” Pertanyaannya, sejauhmana
tipologi ini dapat diterima?
HMI,
sesungguhnya tidak mempunyai “ideologi” keagamaan yang jelas benar. Pandangan
dunia (weltanchaung) HMI pernah dirumuskan Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin
Anhari, dan Sakib Mahmud atas rekomendasi kongres ke-9 HMI di Malang, 3-10 Mei
1969, dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang belakangan menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK) dan sejak kongres HMI ke-22 di Jambi 1999 kembali menjadi
NDP. Merujuk pada NDP atau NIK HMI ini, ideologi keagamaan HMI cenderung ke
arah “modernisasi” kalau tidak dapat dikatakan “neomodernisme” Islam. Pada
level praksis, “modernisme” Islam –yang lebih mementingkan substansi dari
literalisme– dalam pengamatan saya, tetap menjadi orientasi kiprah HMI. Tetapi
ini tidak untuk mengabaikan fakta bahwa pada dasawarsa terakhir ini, juga
terdapat arus kuat pada sebagian anggota HMI untuk berikap lebih literalis
dalam pemahaman mereka. Pada 1980-an, misalnya, kalangan ini muncul dan cukup
kuat mengembangkan arus penolakan terhadap asas tunggal Pancasila, yang pada
gilirannya menimbulkan friksi cukup tajam dalam HMI. Walaupun kaum
“substansialis” berhasil memenangkan konflik-konflik ideologis tersebut, ini
tidak berarti bahwa kelompok “literalis” ini lenyap sama sekali.[xxxiv]
Pandangan
“keagamaan” dan sikap politik HMI, acapkali diasosiasikan dengan Masyumi
–partai politik modernisme Islam paling terkemuka, terutama setelah NU pada
1952 mufaraqah dari Masyumi. Sering juga diasosiasikan dengan Nurcholish
Madjid, figur “personifikasi” HMI yang paling menonjol, tokoh yang disebut
sebagai “Natsir Muda”– representasi Masyumi. Tetapi sejauhmana
pandangan-pandangan keagamaan dan sikap politik Masyumi sejajar dengan HMI?
Masyumi tentu saja terkenal sebagai partai politik Islam yang paling gigih
secara konstitusional memperjuangkan penetapan Islam sebagai ideologi dan atau
dasar negara. Sementara itu, HMI memang pernah secara formal menyuarakan
aspirasi dan sikapnya agar Islam dijadikan ideologi dan dasar negara, misalnya
Keputusan Kongres ke-5 HMI di Medan 1957. Namun, sesungguhnya sikap HMI tentang
hal ini sangat fluktuatif, dan keputusan Kongres Medan “terpaksa” diambil
karena HMI ingin menolak gagasan Soekarno yang ingin mengakomodasi komunisme,
sementara HMI memandang bahwa komunisme bertentangan dengan Islam. Hanya saja,
secara umum HMI memang lebih berpijak pada substansi; ia lebih memperjuangkan
pembentukan “masyarakat” yang secara sosiologis dan kultural Islami (baldatun
thayyibatun wa rabb ghafur), ketimbang penetapan label “negara Islam.”[xxxv]
Dalam
hal tertentu, menurut Barton, sikap politik-keagamaan HMI justru lebih dekat
dengan NU dari pada Masyumi. Misalnya, ketika HMI meyakini bahwa penerimaan dan
akomodasi dengan kenyataan politik yang represif. Sementara Demokrasi Terpimpin
pada paruh kedua 1950-an dan awal 1960-an, tidak perlu melibatkan kompromi di
bidang ideologi. Apalagi jika sikap akomodatif yang dikembangkan HMI tidak
semata-mata dilandasi keinginan-keinginan yang bersifat egois untuk “jaga diri”
maupun kemajuan diri sendiri. Pandangan HMI waktu itu, area politik hanya salah
satu dari persoalan-persoalan penting lainnya, di mana yang terpenting adalah
Islam itu sendiri. Dan, dari sinilah kenapa HMI menafsirkan Islam sesuai dengan
substansi persoalan-persoalan sosio-religious daripada persoalan-persoalan
politik. Dalam kaitan ini, para pemimpin HMI memiliki sudut pandang yang sama
dengan para pemimpin NU di sepanjang periode ini; kedua pemimpin organisasi ini
memperhatikan tanggung jawab mereka yang terbesar untuk mempertahankan
organisasi sebagai kendaraan pendidikan dan stabilitas umat.[xxxvi] “Dalam
dunia politik,” tulis Barton, “HMI dan NU mengambil posisi yang sama, yaitu
memberi “udara” pada konstelasi kehidupan politik yang sedang diterpa badai.
Bagi keduanya, perjuangan meraih cita-cita politik tertentu dijadikan persoalan
kedua setelah demi kelangsungan nafas organisasi. Keduanya menyadari bahwa
dibubarkannya organisasi berarti jutaan rakyat [kaum] Muslim biasa [awam] akan
kehilangan harapan dari organisasi tersebut sebagai sumber utama pedoman moral
dan spiritual,…”[xxxvii] Ketegangan hubungan HMI dengan tokoh-tokoh Masyumi
tetap berlanjut – bahkan setelah Masyumi membubarkan diri pada 13-9-1960 dengan
Memorandum – yang puncaknya pada 1963 karena perbedaan keduanya dalam beberapa
masalah kunci tersebut.
Jika
ada kemiripan antara Masyumi dengan HMI, itu lebih menyangkut “kultur” politik
yang sama-sama menekankan dan respek kepada toleransi dan pluralisme. Masyumi,
meski memperjuangkan ideologi Islam, tidak terjerumus kepada eksklusifisme
sempit; ia bisa bekerjasama dengan pihak-pihak lain; baik kalangan nasionalis
bahkan non-Muslim. Tidak mengembangkan eksklusifisme pandangan keagamaan dan
sikap politik sempit adalah juga merupakan mainstream HMI.[xxxviii]
Dalam
bidang fikih, HMI disebut sebagai organisasi “yang tak bermazhab.” HMI tidak
pernah mempersoalkan dan atau menjadikan persoalan perbedaan mazhab menjadi
isu. Dalam batas tertentu, HMI mungkin lebih dekat kepada Muhammadiyah, tetapi,
organisasi terakhir ini bukan tanpa orientasi madzhab tertentu; karena dalam
banyak segi Muhammadiyah cenderung dipengaruhi “Hanbalisme”. Meski demikian,
perilaku dan praksis keagamaan HMI tetap lebih mirip Muhammadiyah dari pada NU.
Meskipun HMI tidak pernah mengangkat tema-tema neosalafisme, seperti
pemberantasan takhyul, bid’ah, dan khufarat – seperti dilakukan Muhammadiyah –
namun, praktek dan pengalaman keagamaan HMI-Muhammadiyah sama-sama “bersahaja;”
tidak penuh nuansa dan “berbunga-bunga” seperti kental di NU. Praksis keagamaan
HMI – dan juga Muhammadiyah – memang lebih menekankan aspek kognitif dari pada
afektif. Karena itu, pengalaman keagamaan dalam HMI cenderung sangat
kering.[xxxix]
Karena
itu, sia-sia saja jika anggota-anggota HMI ingin mengembangkan dan atau
menemukan pengalaman keberagamaan yang intens dalam organisasi mereka.
Pengembangan pemikiran dan sikap keberagamaan HMI lebih ditekankan pada akal
dari pada qalb. Ini mengakibatkan implikasi yang cukup signifikan bagi
perkembangan HMI, khususnya pada dasawarsa terakhir. Ketika antusiasme
keberagamaan melanda banyak kalangan mahasiswa dan kaum muda, HMI dengan
penekanan pada akal ketimbang qalb, dianggap tidak mampu memberi apa yang
mereka cari. HMI dipandang kurang relevan dengan semangat antusiasme tadi,
sehingga HMI pada gilirannya tidak menjadi wadah yang tepat bagi mereka untuk
berhimpun. Di sinilah kelompok-kelompok keagamaan yang sering disebut sebagai
harakah menemukan momentumnya, khususnya di kampus-kampus “umum” seperti ITB,
IPB, UGM, dan UI, dan pada saat yang sama, HMI mulai kehilangan rasion
d’etre-nya di sana. Dalam hal ini, dibandingkan dengan KAMMI misalnya, HMI
telah kalah selangkah.
Jika
ditanyakan, siapa di antara kader-kader yang telah “dididik” di HMI yang
menjadi personifikasi ideal pemikiran keIslaman-keindonesiaan HMI?
Pertanyaan
ini tidak mudah dicari jawabannya; tetapi sangat relevan diangkat di
tengah-tengah zaman di mana HMI, dan KAHMI, tidak bisa tidak harus menempatkan
diri dan kiprahnya sebagai usaha membangun peradaban bangsa. Membangunn sebuah
peradaban tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan intelektualitas dan
profesionalitas, tetapi harus diletakkan di atas landasan tumpu nilai-nilai
agung kemanusiaan-keagamaan, seperti moral, spiritual, dan budaya. Nilai-nilai
universal itu hanya bisa diproduksi oleh kader-kader HMI, dan KAHMI, yang
memiliki daya-daya mental-psikologis tertentu sehingga tajam mata nurani
(bashirah), peka daya rasa persepsi (dzawq), kukuh identitas dan potensi
primordial (fitrah), dan tangguh independensinya (istiqlaliyah). Insan HMI dan
KAHMI seperti ini memandang “bekerja” dan “mengabdi” kepada negara dan bangsa
sebagai ibadah (ta’abud) dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
SWT., untuk memperoleh ridho-Nya (mardhatillah). Kuat dugaan bahwa
kualitas–kualitas pribadi HMI seperti inilah yang membuat mereka “siap” untuk
“lulus” menjalani cobaan buruk (bala’un say’un) HMI pada 1950-1965-an, ketika
HMI tanpa peduli harus memikul pukulan berat serangan yang dilancarkan kekuatan
anti-Islam sayap kiri. “Situasi ini,” dalam kalimat Barton,” menunjukkan
keberanian HMI untuk menderita demi Islam.”[xl]
Akomodasi
terhadap umat Islam, termasuk HMI dan KAHMI, oleh negara sejak 1990-an adalah
sebuah gerak sejarah yang tak terhindarkan (inevitable). Buah dari agenda yang
“dirintis” sejak 1951 oleh generasi pertama HMI dan secara intelektual sejak
1970-an oleh generasi aktivis dan pemikir Muslim baru ini sesungguhnya
merupakan momentum kalangan santri, terutama HMI dan KAHMI secara kolektif,
untuk merebut kepemimpinan moral, spiritual, dan intelektual bangsa, yang pada
gilirannya juga memimpin dalam membangun peradaban bangsa. Terakomodasinya
kader-kader terbaik HMI (KAHMI) di berbagai struktur lembaga negara
sesungguhnya merupakan cobaan baik (bala’un hasanun) terhadap HMI dan KAHMI
untuk menciptakan clean government, adil, dan demokratis. Sayangnya, sejarah
akhirnya mencatat, secara kolektif HMI dan KAHMI –meskipun tidak seluruhnya–
belum terbukti lulus menghadapi cobaan baik tersebut. Secara kolektif, sekali
lagi, HMI dan KAHMI tampak kehilangan fokus sejarah menghadapi “daya tarik” dan
“daya pikat” kekuasaan. Momentum itu telah lewat, memang, namun bukan berarti
terlambat bagi HMI dan KAHMI untuk secara kolektif mencegah hancurnya
peraddaban bangsa.
Meskipun
pada dekade terakhir, ada trend “penurunan” jumlah anggota dan dinamika HMI,
namun model perkaderan HMI masih tergolong yang terbaik. Kesetaraan (equality)
dan kesederajatan (egalitarianism), sebagai prinsip paling menonjol dalam
budaya HMI, juga KAHMI, telah memungkinkan semua aktivis organisasi ini
melakukan mobilitas vertikal, baik di level pemerintahan maupun di lapangan
sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, HMI telah berhasil melakukan pemberdayaan
sosial, ekonomi dan politik umat. Dibandingkan dengan sesama organisasi
kemahasiswaan lain, HMI masih tergolong yang terdepan.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, relevan jika kita bercermin kepada pada founding
fathers awal HMI. Lafran Pane, dalam penilaian Cak Nur, merupakan personifikasi
ideal namun nisbi dari pemikiran keIslaman dan kiprah keindonesiaan HMI. Itu
terlihat dari keteguhan iman dan amal perbuatan Lafran yang sangat tulus,
jujur, tawadu’, independen, visioner, konsisten, dan demokrat. Lafran tetap
menjaga sikap dan memegang teguh prinsip seperti itu, sungguhpun generasi HMI
angkatan 1960-an, 1970-an, dan 1980-an sebagai generasi penerusnya telah banyak
yang “menjadi orang”. Dalam taraf tertentu, Lafran bahkan terkesan “menarik
diri” dari “prestasi” yang diraih generasi ini. Amal perbuatan seperti itu,
kata Cak Nur, sebagai kumpulan akhlak pribadi yang sangat terpuji, dan
nilai-nilai ini sangat dihayati beliau. Lafran di samping sebagai Muslim juga
seorang Nasionalis, yang mempunya wawasan sendiri, berbeda dengan partai
politik Islam yang ada waktu itu.
Pribadi-pribadi
yang agung, juga kita kenali dari tokoh seperti Achmad Tirtosudiro[xli] dan
Dahlan Ranuwihardjo. Kita hadirkan figur Lafran, Tirto, dan Dahlan ke dalam
memori kolektif kita, sama sekali bukan sebagai usaha melakukan glorifikasi dan
atau romantisme masa lalu yang semu, tetapi sebagai kritik atas kiprah sejarah
kolektif kita sebagai warga HMI selama ini. Mungkin memang sudah waktunya kita
merenung sejenak, agar ada kesempatan bagi nurani kita untuk bertanya; apakah
pengabdian kita sejauh ini telah searah dengan cita-cita HMI?
HMI
Cabang Ciputat –berada di lokasi yang dekat dengan ibukota Jakarta– teribat
banyak dalam dinamika HMI pada tingkat nasional. HMI Cabang Ciputat juga
memasok aktivis, pemikir, dan pemimpin HMI. Berbasis pada IAIN (sejak 2002
menjadi UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, HMI Cabang Ciputat terlibat secara
intens dalam pemikiran keislaman-keindonesiaan, seperti secara tipikal dan
cemerlang diwakili Cak Nur dalam karya besar semacam NDP.
Tetapi
Cak Nur tidak pernah bisa tergantikan, baik di lingkungan HMI Cabang Ciputat;
dan bahkan pada tingkat Indonesia sekalipun. Dengan demikian, pengembaraan HMI
baik pada tingkat lokal dan nasional merupakan perjalanan yang tidak pernah
selesai.
Dalam
pengembaraan itu, memori kolektif generasi demi generasi mestilah senantiasa
disegarkan. Karena dalam kandungan memori itu banyak yang bisa menjadi
inspirasi untuk melangkah lebih baik ke depan. Dalam
konteks itu, karya ini merupakan rekam memori kolektif dari Ciputat. Semoga
bisa mengilhami.
[i] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam
Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”,
Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN Yogyakarta, 2001, h. 85
[ii] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak
Bangsa,” dalam Ramli H.M. Yusuf (ed.), 50 Tahun HMI Mengabdi Republik,
(Jakarta: LASPI, 1997), h. 114
[iii] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa
Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”, Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN
Yogyakarta, 2001, h. 85
[iv] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Tahun
1947-1975), (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), h. 27
[v] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak
Bangsa,” Retorika yang dikembangkan HMI sebagai “anak kandung umat Islam”
dibuktikan oleh Keputusan Kongres HMI di Kaliurang-Yogyakarta 1951, yang
kemudian dikenal dengan Deklarasi Kaliurang, yang memberi dukungan sama pada
keempat partai politik Islam, Masyumi, NU, PSII, dan Perti, untuk berlaga di
ajang Pemilu 1955, meskipun keputusan ini membuat hubungan Hmi-Masyumi
memburuk. Lihat Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad
Wahib, Djohan Effendi dan Ismet Natsir (peny.), (Jakarta: LP3ES, 1988), h.
144-145
[vi] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (Tahun
1947-1975), h. 20
[vii] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya
dengan Perjuangan Bangsa Indonesia, (Jakarta: Inegrita Dinamika Press, 1986),
h. 69-70
[viii] Lihat naskah lengkap Anggaran Dasar HMI Hasil
Keputusan Kongres I HMI di Yogyakarta tanggal 30 November 1947, yang terdiri
daari 12 pasal. Untuk itu lihat Agussalim Sitompul, Histografi HMI 1947-1993,
(Jakarta: Penerbit Intermasa, 1995). Lampiran 2, h. 246
[ix] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak
Bangsa,…, h. 114-115
[x] Sutan Pangarubaan juga seorang pengusaha, menjabat
sebagai Direktur jasa angkutan ODP (Oto Dinas Pangangkutan) Sibualbuali yang
berdiri 1937 dan berkedudukan di Sipirok. Dalam pergerakan Islam, Pangarubaan
termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Neneknya
adalah adik dari ulama besar Sipirok, Syekh Badurrahman Pane sementara dua
orang abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, tercatat sebagai tokoh dan pelopor
Pujangga Baru di lembar kesusasteraan Indonesia. Lebih lanjut lihat pada bab II
Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang
Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”; lihat juga Agussalim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI.., h. 157; dan Agussalim Sitompul, HMI Dalam Pandangan Seorang
Pendeta: Antara Impian dan Kenyataan Koreksi Terhadap Victor Tanja Berjudul
Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan
Muslim Pembaharu di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 32
[xi] Lihat Sudjoko Prasojo, “Drs. Lafran Pane” dalam Majalah
Media, Tahun III, Nomor 7 (Februari 1957), h. 32 dikutip dari Agussalim
Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan
1947-1997”, h. 43
[xii] Lihat Sudjoko Prasojo, Majalah Media.., h. 34 dan
Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang
Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”, h.
45-47
[xiii] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak
Bangsa.., h. 115
[xiv] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa
Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”, Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN
Yogyakarta, 2001, h. 85
[xv] Herbert Feith, The Indonesian Election of 1955,
(Ithaca: Modern Indonesian Project, Cornell University, 1957)
[xvi] Lihat Gerakan 30 September Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: Sekretariat
Negara RI, 1994), h. 23
[xvii] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang
Berubah…, h. xxvii-iii
[xviii] Sidang Politbiro CC PKI 1954 berhasil merumuskan
metode revolusi yang cocok buat Indonesia yaitu Metode Kombinasi Tiga Bentuk
Perjuangan (MKTBP). Yakni (1) Perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum
buruh tani dan tani miskin (kelak jadi BTI); (2) Perjuangan revolusioner kaum
buruh tani dan tani terutama kaum buruh angkutan (kelak SOBSI), (3) Bekerja
secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan Angktan Bersenjata
(kelak menjadi Biro Khusus PKI). Lebih lanjut lihat Gerakan 30 September
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.., h, 23; Agussalim Sitompul, “Pemikiran
Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997…, bab II
[xix] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang
Berubah…, h. xxviii-iv
[xx] Fachry Ali, “Wawasan Sejarah dalam Lingkungan yang
Berubah…, h. xxvix-x
[xxi] Herbert Feith, The Indonesian election of 1955…, h.
540
[xxii] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI.., h. 32,
72
[xxiii] Tentang ketegangan politik umat Islam vis-à-vis PKI
pada periode ini, antara lain lihat Sya’ban H. Muhammad, Islam in Indonesian
Politics, (Delhi: Ajanta Publications, 1999), h. 91-99
[xxiv] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformaasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998),
terutama bab IV.
[xxv] Lihat, Yogya Post, Rabu Pon, 19 Maret 1997; Agussalim
Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI.., h. 32
[xxvi] Dikutip dari Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 26, 38
[xxvii] Lihat Nurcholish Madjid, “Integritas Keislaman dan
Keindonesiaan untuk Menata Masa Depan Bangsa”, Makalah disampaikan pada Pembukaan
Klub Kajian Agama (KAA) Paramadina, Jakarta, 1986. dikutip dari Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara…, h. 126
[xxviii] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, khususnya bab
V.
[xxix] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara…, h. 273-310
[xxx] Nurcholish Madjid , “HMI, dari Anak Umat ke Anak
Bangsa.., h. 115
[xxxi] Nurcholish Madjid, “Mempertegas Visi Perjuangan HMI”
dalam Abdullah Hafidz et. al., (ed.) HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan,
Menghadapi Pergantian Zaman, (Jakarta: Majelis Nasional KAHMI, 1997), h. 93-94
[xxxii] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan,
Fakta, dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 160
[xxxiii] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia;
Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan
Abdurrahman Wahid, Terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paaramadina-Pustaka Antara,
1999)
[xxxiv] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa
Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”, Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN
Yogyakarta, 2001, h. 85
[xxxv] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 161
[xxxvi] Agussalim Sitompul, “Pemikiran Himpunan Mahasiswa
Islam Tentang Keislaman-Keindonesiaan 1947-1997”, Disertasi pada Program Pasca Sarjana IAIN
Yogyakarta, 2001, h. 85
[xxxvii] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…,
h. 62
[xxxviii] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 160
[xxxix] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani…, h. 160
[xl] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, h. 6
[xli] Lihat misalnya, apresiasi Soetjipto Wirosardjono,
“Ahmad Tirtosudiro” dalam Resonansi, Republika, Rabu 12 Maret 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar