Selasa, 27 Oktober 2015

Kuntowijoyo : Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia




Dr. Kuntowijoyo adalah salah satu cendikiawan muslim yang banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang inspiratif yang sangat relevan untuk dikembangkan umat Islam saat ini. Melihat banyak sekali permasalahan yang ada di Indonesia ini, Islam menawarkan solusi yang bisa membangkitkan umat Islam di Indonesia ini, seperti apa yang ditawarkan Kuntowijoyo dalam banyak bukunya.
Pentingnya sikap optimis dalam menghadapi masa depan dan segala macam permasalahannya harus dilakukan oleh generasi muda Islam sekarang ini. Karena ia mewakili apa yang dinamakan kesadaran kolektif, respons, atau kesaksian zaman dari sebuah generasi yang berada pada usia peralihan dari masyarakat agraris ke zaman industri. Generasi muda Islam dan umat Islam pada umumnya harus melihat Islam sebagai kekuatan social, kekuatan budaya, kekuatan ekonomi, dan sebagainya.
Terjadinya pergeseran dari pemikiran yang bersifat ideologis ke pemikiran yang bersifat ide. Ideologis sendiri dalam arti antropologi dan sosiologis sebenarnya tidaknya berarti kekuasaan. Yang dimaksud pergeseran dari pemikiran ideologis dalam arti kekuasaan kepemikiran sistemik, pemikiran yang lebih melihat bahwa persoalan kekuasaan juga tak lepas dari system ekonomi, sistem social, system budaya dan sebagainya. Oleh karena itu perlu cara pemecahannya pun juga ditunjukan untuk reformasi sistemik, bukan hanya perubahan politik.
Dalam perspektif sejarah pemikiran, kita bisa mengatakan bahwa meskipun kesadaran umat belum merata, munculnya pemikiran sistemik seperti itu nampak berada di garda terdepan. Sejarah memang selalu ditentukan oleh pemikiran yang paling menonjol dari zamannya. Dalam kaitannya dengan tahap-tahap pemikiran ini, mungkin saja ada kesenjangan besar antara yang berada di garda depan dengan mayoritas rakyat. Pada saat kita memasuki zaman ideology misalnya, para petani dan orang-orang desa masih berada dalam pemikiran mistis.Pada zaman ideologis dan zaman ide pada saat sekarang ini,  kesadaran zaman dikalangan umat pun masih belum merata. Itulah sebabnya mereka terpecah-pecah dalam unit-unit kesenjangan yang cukup besar.  Ada jarak antara masyarakat desa dengan kota,  antara kaum terpelajar dan petani dll. Dalam kaitannya dengan kesenjangan tersebut sangat diperlukan mekanisme yang mampu mengintegrasikan unit-unit kesenjangan itu.
Pada periode ide  sekarang ini tampaknya perkembangan sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Kecerdasan umat sekarang ini sudah sangat lebih baik daripada masa sebelumnya. Umat Islam jadi lebih terbuka dan artinya mereka mulai membuka diri dalam pertemuan budaya dan terlibat dalam percaturan ideologi-ideoligi dunia. Pada kondisi  yang cair ini umat Islam dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak tahu kemana arah kita menuju, entah kondisi yang  berbahaya atau menguntungkan. Tidak adanya otoritas tunggal yang mengikat bagi semua umat Islam. Namun, menurut Kontowijiyo ini adalah kondisi yang cukup menguntungkan, dengan kondisi yang cair seperti ini, kita bisa menciptakan tradisi yang baru, semangat baru, dan lanskap pemikiran yang baru.Yang mengkhawatirkan adalah ketika kita tidak siap dengan konsepsi-konsepsi baru mengenai persoalan-persoalan yang actual seperti, masyarakat industry, mengenai arah-arah pembangunan nasional, tentang perubahan social yang terjadi di masyarakat global dsb. Jika kita tidak siap dengan konsepsi mengenai hal-hal seperti itu bukan tidak mungkin kita terseret oleh arus pemikiran di dalam filsafat yang dikenal dengan istilah radikalisme,  seperti gerakan new left atau neo-Marxis. Kita harus cepat-cepat memiliki berbagai konsepsi baru mengenai semua hal, jika tidak kondisi yang cair ini akan sangat berbahaya bagi umat Islam semua.
Dalam periode ide ini Islam perlu dirumuskan menjadi ilmu. Kita perlu merumuskan konsep-konsep  normative Islam sebagai teori. Konsep-konsep normative memang bisa diturunkan menjadi filsafat,  kemudian menjadi ideology. Tetapi bisa juga dari konsep normative menjadi filsafat,  dan lalu menjadi teori. Setiap ayat al-Qur’an memang bisa dirumuskan menjadi ideology tetapi juga bisa dirumuskan menjadi teori-teori ilmu pengetahuan Islam. Sehingga dari teori-teori tersebut dapat di konsepkan menjadi ilmu pengetahuan yang nantinya bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selama kita masih memandang Islam sebagai ideologi saja yang kita hanya jalankan secara syariat tanpa ada pembedahan Ilmu yang terdapat di dalamnya kita tidak akan pernah mampu menandingi konsep-konsep  yang berakar pada kebudayaan lain. Misalkan konsep kelas,  menurut pandangan marxis konsep kelas berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi yang nantinya berujung pada ekonomi, dalam Islam konsep kelas sendiri berdasarkan keadilan. Islam mencoba menghilangkan kelas dengan membaginya keadilan tanpa menghilangkan hak-hak individu. Dalam Islam ada Dzalim dan Mustad’afin,  dalam hubungan yang menindas atau yang ditindas. Dalam Islam ada zakat yang bertujuan untuk memberikan keadilan kepada kaum mustadh’afin, sehingga mereka merasa diperjuangkan,  kemudian adanya hukum  waris juga bisa mencegah adanya penumpukan modal. Kalau ada pengakumulasian modal mereka akan terbatasi oleh ketentuan zakat, hokum waris, infaq, kharaj dan sedekah. Tapi dalam melihat keadaan saat ini apakah mungkin kita dapat mengadakan eksperimen tersebut.
Ada keperluan besar untuk menjadikan Islam sesuatu yang empiris di masa depan. Seperti ekonomi Islam misalnya, tetap hanya merupakan seperangkat teori biasa jika tidak ada institusi yang  mendukungnya. Bank Islam misalnya membuat ekonomi Islam menjadi empiris. Meskipun ada perbedaan antara Islam Sunni, Syiah dll, sesungguhnya tetap memiliki teori yang sama. Islam itu mirip dengan  paradigma  besar yang memungkinkan di dalamnya terkandung berbagai model. Sebagaimana Kapitalisme dan sosialisme memiliki banyak varian yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan hal ini, ide al-Qur’an perlu dilihat dari berbagai disiplin ilmu, merupakan ide  yang relevan. Selama ini para ahli tafsir terlalu generalis dan melihat al-Qur’an. Jika al-Qur’an dilihat dari berbagai disiplin ilmu, maka kemungkinan melihat ilmu (social) Islam sangat besar. Mungkin orang masih sangsi akan hal ini. Ini merupakan sebuah hal yang wajar, karena Islam masuk ke Indonesia dengan cara yang elastis.
Kebudayaan Islam di Indonesia terkenal lebih lunak dan toleran dibandingkan yang lain. Masjid-masjid pertama di Indonesia bentuknya menyerupai arsitektur local, warisan dari Hindu. Berbeda dengan Kristen misalnya yang membuat gereja di Indonesia dengan arsitektur asing atau Barat. Ini memperlihatkan Islam lebih toleran dibandingkan dengan agama lain.  Budha datang dengan membawa stupa, begitu juga Hindu yang membawa kebudayaan India. Islam datang ke Indonesia tidak membawa kebudayaan Timur  Tengah secara langsung. Baru akhir-akhir ini saja bentuk Kubah di adopsi dalam  Islam. Dengan fakta-fakta tersebut bahwa Islam tidak anti-budaya. Budaya  Islam memiliki banyak varian.
Namun terdapat perkembangan lain dari kebudayaan Islam di Indonesia. Budaya kota,  budaya kelas pedagang yang mobile Islamnya, menyebar ke lingkungan desa yang statis, berada pada budaya agraris  yang menetap dan tidak lagi mobile. Dalam arti ini Islam di Indonesia “dipetanikan”, atau di “desa-kan”. Dengan kata lain Islam di Indonesia mengalami proses Indonesianisasi.
Dari segi ajaran, Islam tidak sepenuhnya mengalami Jawanisasi. Memanga dan sinkretisasi, tetapi itu merupakan hal yang wajar. Sinkretisasi juga dialami oleh agama-agama lain, seperti halnya Kristen di Mesir, Eropa dan Rusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar